Mohon tunggu...
Julita Hasanah
Julita Hasanah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Masih Mahasiswa

A Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Urban Farming Masa Depan Jakarta

10 September 2019   10:05 Diperbarui: 11 September 2019   21:29 1030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : https://www.alodokter.com 

Barangkali kita melangkah terlalu jauh, hingga ciptakan jutaan luka.

Barangkali angan kita melampaui batas, hingga korbankan semesta.

Barangkali perut kita banyak menuntut, hingga semua dihabisi, nyaris tanpa sisa.

Dan barangkali-barangkali lainnya, hingga Jakarta menderita. 

 

Diri bahkan tak sanggup berandai, apabila tuanku Fatahillah masih hidup, bagaimana kecewanya merupa.

Kota yang pernah diperjuangkan ratusan tahun silam, kini meronta-ronta. 

Apakah tuanku pernah sangka? 

Jayakartamu dulu telah jadi kota mega-metropolitan, hutannya adalah hutan beton, ladangnya adalah ladang bisnis.

Sejarah jadi saksi, betapa Jakarta telah korbankan semua yang ia miliki. 

Lahannya dirampas, Air bersihnya dihabisi, udaranya tercemari. 

Habis manis sepah dibuang. Saat Jakarta dirundung masalah, yang banyak terjadi hanya protes sana-sini. 

Percayalah kawan, waktunya kita balas budi dan kembali mencintai.  

Jakarta sudah korbankan segalanya, tidak adakah cinta yang tersisa baginya ?

 

                                                                                                                                      ***

Secuil sajak di atas menggambarkan kompleksitas masalah Ibu Kota. Berdebat,  saling menyalahkan atau menuntut pemerintah ? Sudah bukan eranya. Tak ada yang lebih bijaksana selain merasa perlu ikut andil benahi Jakarta. Lalu banyak yang bertanya, kami bukan siapa-siapa hanya warga biasa Ibu Kota.

Apakah kami bisa ikut serta merawat Jakarta ? 

Adakah yang bisa kami lakukan untuk ikut mencinta Ibu Kota ?  

 

Ikut Serta Merawat Ibu Kota dengan Urban Farming 

Sebagai warga Ibu Kota banyak sekali peran yang dapat dilakukan guna ikut merawat Ibu Kota, karena Jakarta tanggung jawab bersama. Tanpa disadari peran nyata untuk bantu jaga lingkungan Ibu Kota berada di halaman, atap rumah, dan sebongkah pipa yang tergeletak di gudang rumah kita.

Loh kok bisa ?   

sumber : https://www.agritecture.com 
sumber : https://www.agritecture.com 

Melalui urban farming, atap rumah, pagar rumah dan bahkan pipa bekas merupakan sarana untuk ciptakan kebaikan bagi lingkungan Jakarta. 

Pertanian kota atau urban farming merupakan konsep berkebun di lahan terbatas terutama bagi siapa saja yang hidup di kota-kota besar, persis seperti Jakarta. Halaman rumah, atap, balkon, dan hampir semua jenis ruang perkotaan dapat diubah menjadi zona pertanian mini yang syarat akan manfaat.

Realisasi Urban Farming dapat kita lihat pada beberapa kota besar dunia. Salah satunya HK Farm,  jaringan taman atap di sekitar Yau Ma Tei, Hongkong. Kota yang sudah lama tak merasakan kegiatan pertanian kini hijau dengan hamparan taman atap. Amerikapun tak mau ketinggalan. Kota yang tak pernah tidur, New York punya Brooklyn Grange yang mengoperasikan perkebunan atap terbesar di dunia, menghasilkan lebih dari 22 ton produk organik setiap tahunnya.

Bagaimana warga Ibu Kota sudah tak sabar memulai urban farming ?

Pemerintah DKI Jakarta berharap urban farming tak hanya memikat hati segelintir kelompok, namun melibatkan jangkauan yang lebih luas. Penerapan urban farming secara massal akan memiliki dampak yang massif. Sejumlah penelitian sudah membuktikan bahwa urban farming merupakan konsep pertanian ideal di masa depan. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, urban farming akan memberikan manfaat secara langsung bagi penggiatnya juga bagi lingkungan.

Tak hanya memanen buah dan sayur, urban farming memungkinkan kita  memanen segudang kebaikan bagi lingkungan. Sungguh luar biasa bukan ?

 

Menjawab Krisis Ruang Terbuka Hijau

 

sumber : https://www.herworld.com  
sumber : https://www.herworld.com  

Jakarta sebagai pusat pemerintahan sekaligus sentra bisnis mengharuskan tersedianya infrastruktur yang prima di Ibu Kota. Sayangnya, pembangunan infrastruktur yang massif menyebabkan tergusurnya ruang terbuka hijau. Lenyapnya ruang terbuka hijau sangat mempengaruhi kestabilan ekosistem lingkungan. Meningkatnya polusi udara adalah salah satu konsekuensinya.

"Data World Health Organisation  terbaru menempatkan Jakarta sebagai 22 kota paling berpolusi (udara) di dunia. Kota metropolitan ini mengantongi Air Quality Index dengan nilai 152, angka tesebut dua kali lipat lebih tinggi dari standar batas udara bersih internasional."

Konsep urban farming menawarkan solusi yang dapat dilakukan siapa saja untuk bantu tingkatkan kualitas udara Jakarta. Berbagai sistem penanaman urban farming seperti vertikultur, hidroponik, dan akuaponik membuka peluang akan ruang terbuka hijau baru. Tersedianya ruang terbuka hijau di Jakarta secara perlahan dapat mengurangi pencemaran udara sekaligus menjadikan lingkungan sekitar kita nyaman dan sehat untuk ditinggali.

Eat What You Grow : Jaga Ketahanan Pangan  

sumber : https://www.gardenweasel.com 
sumber : https://www.gardenweasel.com 

Sudah jadi rahasia bersama keberadaan lahan pertanian di perkotaan kian langka. Kota tak lagi mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri. Dengan laju pertumbuhan penduduk Jakarta yang terus meningkat, berkorelasi positif dengan tingginya permintaan akan bahan pangan. Permintaan pangan yang tidak tercukupi akan menyebabkan inflasi harga.

Jika terus dikembangkan, urban farming diproyeksikan dapat mencukupi kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga, sehingga memperkuat ketahanan pangan. Eat What You Grow merupakan gerakan yang sangat menarik dimana dengan mudahnya kita menyajikan berbagai menu di meja makan yang berasal dari kebun kecil kita sendiri.

Berdasarkan data yang diberikan oleh Association for Vertical Farming (AVF), New York bahkan telah dapat menghasilkan sekitar 200-220 ton daun basil setiap bulannya setelah menerapkan konsep urban farming ini. Sebuah penelitian yang dirilis Arizona State University, mengungkap bahwa  produksi urban farming dapat menghasilkan 180 juta ton bahan makanan selama setahun yang merupakan 10 persen kebutuhan makanan secara global.

Memangkas Food Miles, Menghemat Energi 

Setiap makanan yang dihidangkan di piring kita telah menempuh perjalanan yang panjang. Berbagai bahan pangan, sayur-mayur dan lauk-pauk merupakan produk pertanian yang dihasilkan oleh daerah perdesaan. Bahan pangan tersebut kemudian didistribusikan ke kota  hingga akhirnya sampai di meja makan kita. Tentu tak bisa dibayangkan berapa banyak energi yang telah digunakan untuk mengenyangkan perut warga kota.

Matei Georgescu, profesor asal Arizona State University, mengungkap bahwa urban farming berpotensi menghemat 15 miliar kilowatt per jam untuk pemakaian energi dunia selama setahun dan menghasilkan 170.000 ton nitrogen ke udara, sama artinya dengan mencegah pencemaran sungai dan saluran air bersih. Tentunya implementasi urban farming, akan secara nyata memangkas Food miles,atau jalur distribusi bahan pangan, sehingga menghemat energi dan mengurangi pencemaran lingkungan.   

Tips Urban Farming ala Ibu Kota 

Lahan terbatas dan minimnya ketersediaan air pada Ibu Kota memerlukan kreativitas lebih ketika hendak menerapkan urban farming. Namun, tak perlu khawatir karena ada tips berikut sebagai panduan awal memulai zona pertanian mini di rumah Kompasianer.

Menanam Vertikal  

sumber : https://pingpoint.co.id 
sumber : https://pingpoint.co.id 

Terbatasnya lahan bukanlah halangan untuk berbudidaya tanaman. Melalui teknik vertikultur kita tetap dapat menanam walau lahan terbatas. Teknik vertikultur merupakan cara bertanam yang dilakukan dengan menempatkan media tanam dalam pola yang disusun secara vertikal. Contohnya dengan membuat rak bertingkat dari besi ataupun kayu untuk meletakkan beberapa pot, tabung bambu, atau pipa paralon, Kompasianer sudah bisa memiliki lahan mungil dan apotik hidup pribadi di rumah.

Membuat Meja Tanaman

Urban farming diharapkan tak hanya memberi kesempatan untuk bercocok tanam, namun juga memiliki nilai estetika dalam kondisi tanam yang kurang menguntungkan. Membuat meja tanam adalah sebuah solusi, yaitu membuat meja seperti biasa dan ditambahkan sisi pembatas di sekelilingnya. Dengan kreativitas, meja tanam tak hanya berfungsi sebagai "lahan" tanam, namun juga akan menambah estetika rumah Kompasianer. 

Tidak percaya, silahkan buktikan sendiri. 

 

Taman tanpa Air

Minimnya ketersediaan air menjadi kendala bagi warga ibu kota untuk memulai bercocok tanam di rumah. Nah, bagi Kompasianer dengan kondisi air yang sangat terbatas bisa berinisiasi untuk membuat "taman tanpa air". Warga Ibu Kota tetap dapat memiliki taman cantik dengan pilihan tanaman yang tidak memerlukan penyiraman intens, seperti Kaktus, Lidah mertua, dan Bunga Euphorbia.

Menyuburkan Tanah dengan Bahan Sisa Dapur

Pertanyaan mengenai pupuk  pasti muncul saat membicarakan rencana bercocok tanam. Daripada mengeluarkan biaya untuk pupuk, Kompasianer dapat memanfaatkan bahan-bahan sisa dapur sebagai pupuk alami bagi lahan urban farming kita di rumah.   Misalnya remahan cangkang telur yang memberi kalsium untuk tanah Anda. Kemudian kopi bubuk yang berperan penting sebagai pupuk. Serta, kulit pisang yang bisa memicu perkembangan pesat mikro organisme di tanah.

Memanfaatkan Barang Bekas

sumber : https://www.alodokter.com 
sumber : https://www.alodokter.com 

Salah satu keuntungan menerapkan urban farming adalah pemanfaatan barang bekas yang selama ini nyaris tak memiliki nilai. Kompasianer pasti akan merasakan kepuasan tersendiri saat berhasil memanfaatkan barang bekas atau yang selama ini kita kenal dengan "zero waste". Salah satu contohnya adalah dengan memanfaatkan botol-botol bekas menjadi pot tanaman yang digantung dan diberi warna yang kemudian dapat digunakan sebagai tempat tumbuh tanaman.

 

Menabung Air Hujan  

sumber : https://www.youtube.com/watch?v=rt8zyMvi9F8 
sumber : https://www.youtube.com/watch?v=rt8zyMvi9F8 

Bang Bing Bung Yok Kita Nabung...

Masih ingatkan dengan lagu era 90-an tersebut ? Sayangnya, kegiatan menabung selama ini hanya identik dengan menabung uang. Tahukah Kompasianer bahwa kita tak hanya dapat menabung uang receh sisa-sisa belanja ke dalam celengan ayam jago. Kita juga bisa turut andil jaga persediaan air dengan menabung air hujan. Tabungan air hujan  tersebut dapat dimanfaatkan sebagai irigasi urban farming mini di rumah Kompasianer agar makin pro terhadap lingkungan. 

Bagaimana caranya? 

Kita dapat menabung air hujan dengan cara sederhana. 

Beberapa diantaranya yaitu dengan membuat Kolam Pengumpul Air Hujan dan Sumur Resapan.

sumber : http://trionurmansyah.blogspot.com
sumber : http://trionurmansyah.blogspot.com


Kolam pengumpul air hujan merupakan kolam atau wadah yang digunakan untuk menampung air hujan yang jatuh di atap bangunan dan disalurkan melalui talang. Kolam dapat dibuat di atas permukaan tanah atau di bawah bangunan yang disesuaikan dengan ketersediaan lahan.

sumber : https://newberkeley.wordpress.com  
sumber : https://newberkeley.wordpress.com  

Sedangkan, Sumur resapan dibangun untuk meningkatkan resapan air hujan ke dalam tanah pada areal terbuka. Konstruksi dan kedalaman sumur resapan disesuaikan dengan kondisi lapisan tanah setempat. Dalam pembuatannya harus diperhatikan agar sedimen dari areal sekitarnya tidak terbawa masuk ke dalam sumur resapan karena mampu menurunkan efektivitas resapan dan meningkatkan biaya pemeliharaannya.


Urban Farming : Masa Depan Jakarta

Tak  sedikit kalangan yang pesimis dengan masa depan lingkungan Jakarta. Namun, Saya optimis, kesempatan untuk bersama-sama membenahi lingkungan Jakarta akan selalu ada. Eits... jangan salah, sebagai  warga Jakarta, Kompasianer dapat berkontribusi langsung untuk benahi lingkungan Jakarta. Urban Farming merupakan win-win solution, tak hanya perbaiki lingkungan, namun juga beri segudang manfaat bagi warga Jakarta. 

Urban Farming adalah Masa Depan Ibu Kota 

Untuk Warga Jakarta, Jadi Kapan Siap ber-urban farming ? Yuk Jangan Tunda.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun