Oleh karena itu, proses-proses menuju UN tersebut harus dibuat pengondisian seperti mahasiswa dalam mengejar titel sarjananya. Kita bukan bangsa manja, kita butuh tekanan itu untuk membuat kita mandiri. Sekarang pertanyaannya bagaimana mengelola tekanan yang ada? Pertama menurut saya yang paling penting sekali peran orang tua dan guru. Pahamkan lagi peserta didik tentang faktor-faktor apa saja yang mampu membuat mereka sukses. Terutama orang tua harus bisa senantiasa memotivasi dan mengarahkan anaknya kepada trah yang pernah dicapai oleh orang-orang sukses dalam menjalani kehidupannya. Jika sudah begitu, maka peserta didik akan kembali mengingat agama. Mengingat Tuhannya. Mengingat Allah jika sebelumnya lupa dan melupakan. Dia kembali sholat bagi yang sudah jarang sholat. Ia tambah sholat wajibnya dengan sholat sunnah bagi yang sudah rutin melaksanakan sholat wajib. Mulai mencoba berpuasa sunnah, diperbanyaknya sedekah dan membantu orang tua dalam berbagai hal. Kemudian tidak lupa berdoa serta senantiasa belajar sepenuh hati dalam setiap kesempatan. Dengan begitu terbentuk motivasi kuat dalam dirinya sendiri, dan disokong dengan motivasi yang berasal dari luar. Karakter yang dikehendaki akan muncul. Yakni tipe-tipe orang yang pantang menyerah, tahu kemana akan mengadu dalam kehidupan, dan bukan karakter cengeng dengan UN saja takut.
Jika tidak lulus ya tidak lulus mengapa diluluskan dengan berbagai cara, sampai pada cara-cara yang tidak terpuji. Ulang lagi tahun depan. Jangan terprovokasi denganohsekolah lain lulus 100% memeroleh peringkat tertinggi di tingkat provinsi dll. Ya, kita juga tidak ingin jika sampai selalu banyak yang tidak lulus dari tahun ke tahun. Maka dari itu para guru harus serius mendidik sejak hari pertama para peserta didik duduk di bangku sekolahnya. Jalankanlah peran pendidik itu dengan sesungguhnya. Jangan dikerdilkan maknanya. Berikan yang terbaik yang seharusnya wajib diberikan.
Juga tolong jangan juga diarahkan opini bahwasanya profesi guru bukanlah profesi yang mendapat penghormatan yang baik di tengah-tengah masyarakat. Tapi angkatlah profesi guru ini, sama dalam pandangan kita dengan profesi-profesi mulia lainnya, seperti dokter. Degan begitu pasti akan kita dapatkan guru-guru yang menikmati tugas mulianya. Juga pasti akan kita peroleh sosok-sosok guru yang tidak hanya paham akan tugasnya tetapi juga mendapat apresiasi yang layak di masyarakat. Selama inikanbukan itu yang terjadi di republik ini. Padahal sebuah negara yang tidak terlalu besar di Skandinavia, yaitu Finlandia menempatkan derajat guru dengan agungnya, disana guru begitu dihormati dan ditinggikan. Mengapa kita tidak bisa?
Yang kedua, dengan pengondisian seperti yang saya sebut di atas secara tidak langsung telah mengajarkan para siswa untuk memiliki visi. Artinya dia tahu apa dia inginkan, bagaimana cara-cara bersih untuk memerolehnya, dan kapan semua itu akan terwujud. Bukankah itu semua adalah yang kita bersama rasakan dalam proses mengejar sarjana? Tolong ajarkan juga kepada siswa SMA dan SMP. Indonesiakaninginnya insan-insan berkarakter pemimpin? Maka inilah langkahnya. Sekarang silahkan tengok, kebanyakan pemimpin-pemimpin kita di DPR dan Eksekutif serta Legislatif. Apakah beliau-beliau semua punya visi nan bernas? Jelas tidak, karena metode ini belum menjadi budaya kita bersama dalam setiap situasi dan kondisi. Yang menjadi budaya kita adalah budaya instan, cengeng, plagiat, korup, pecundang, dan perusak.
Itulah yang ada. Saya hanya menyampaikan apa-apa yang menjadi pemahaman saya. Tragedi-tragedi yang menghentak kita akhir-akhir ini jelas membuat kita menangis sebagai orang yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap dunia pendidikan. Bagi saya jika kita ingin lebih baik di waktu yang akan datang, para guru mendidiklah dengan sebenar-benar mendidik. Kalau itu yang kita bersama lakukan maka inilah tindakan preventif yang paling efektif untuk mengatasi persoalan-persoalan yang menghampiri. Tidak akan ada lagi hamba-hamba pedophilia, tidak akan ditemui lagi kaum-kaum pencontek, grup-grup yang suka menikmati uang rakyat, dan tokoh-tokoh yang suka menipu. Insya Allah.
Sudahlah, patah-patah pun tuts keyboard saya dalam mengetik tulisan ini juga tidak akan merubah apa-apa. Karena memang paradigma yang ada sudah salah arah. Bayangkan saja contoh sederhana begini. Ini terjadi pada mahasiswalho. Entitas yang saya pikir masih memiliki ideologi dan masih bersih. Banyak juga saya temui yang memeroleh beasiswa lebih dari satu. Padahal setahu saya setiap kita akan mengajukan beasiswa harus membuat surat pernyataan tidak sedang menerima beasiswa lainnya dengan ditandatangani dan ditempel materai 6000 berdampingan dengan tanda tangan tersebut. Apa yang terjadi? Tolong jelaskan kepada saya. Ketidakjujuran menghiasi. Saking rakusnya. Jika kita mengamati, padahal masih banyak yang lain yang lebih membutuhkan.Huh, ganjil bin aneh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H