Pemilu presiden semakin dekat. Ini bukan perhelatan dua kubu saja. Tapi adalah pesta demokrasi kita bersama. Oleh karena itu menjadi kewajiban kita ikut dan berpartisipasi untuk menyukseskannya.
Saya baru pertama kali merasakan atmosfer pesta demokrasi yang sesengit ini. Saya kira media dan media sosial telah turut andil untuk membuat itu terjadi. Saya pikir tidak ada alasan untuk kita tidak mengikuti kemana arusnya. Namun, tetap dalam koridor pandai-pandai menentukan arah yang baik, jika tidak tentu akan banyak terjadi kesalahpahaman di antara kita.
Media sudah kadung basah. Apakah itu media mainstream ataukah media sosial. Untuk media arus utama, sudah tampak bagi kita kemana keberpihakan media-media tersebut. Media sosial pun ramai. Atas realitas itu, kita sebagai masyarakat biasa dituntut untuk mampu mencari “cahaya.” Di figur mana ketulusan niat untuk menjadi pemimpin bangsa itu berada. Ketulusan niat untuk mengabdi dengan sepenuh jiwa raga tanpa pamrih adalah yang semestinya menjadi presiden pilihan kita.
Mencari intisari dalam lumpur hitam pekat jelas bukan sebuah tugas yang mudah. Karena kita perlu menganalisis, berpikir, dan mencerna kampanye-kampanye yang tengah dilangsungkan oleh masing-masing kutub. Jelas informasi-informasi yang ada menjadi bahan pertimbangan dan pemikiran kita bersama, namun jangan dilupakan hal-hal lainnya yang juga menentukan.
Saya percaya setiap manusia memiliki kapabilitas untuk menjadi pemimpin. Siapa pun dia, dia adalah pemimpin. Bagaimanapun karakter yang melekat pada dirinya. Namun ada, dimana seseorang menjadi lebih tepat untuk memimpin sebuah objek atau entitas dengan karakter dan kompetensi yang dimilikinya. Jamak kita lihat di lingkungan sehari-hari. Orang ini cocoknya hanya sebatas untuk menjadi ketua RT/RW misalkan. Atau tokoh ini hanya bisa di amanahkan untuk memimpin sebuah paguyuban atau lainnya. Akan tetapi kompetensi dan kualitas jelas bersifat fluktuatif, bisa bertambah dan berkurang.
Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia saat ini yang perlu menjadi landasan pikir kita dalam menyikapi dua calon pemimpin kita lima tahun mendatang adalah pada figur mana kita temukan kesesuaian antara karakter yang dimilikinya dengan entitas yang akan dinakhodai tersebut, yakni bangsa ini. Bangsa ini akan dibawa kemana. Bangsa ini mau jadi bangsa yang seperti apa. Pekerjaan memimpin 250 juta rakyat Indonesia bukanlah tugas yang memiliki batasan yang kongkrit, tetapi adalah beban sepanjang massa yang harus dilunasi oleh setiap pemimpin yang akan datang. Atas dasar itu, saya berkeyakinan pemimpin yang mestinya kita pilih adalah yang mampu memberikan pengaruh kebaikan yang memiliki kekekalan relatif lama. Sehingga ada atau tanpa dia pun memimpin bangsa, fondasinya telah kokoh tertanam dan menjadi budaya dalam kemasyarakatan.
Saya kira itulah yang dinamakan dengan kepemimpinan. Kepemimpinan bukan menyelesaikan masalah-masalah teknis yang hanya membutuhkan skill manajerial. Tapi adalah yang mampu mengkreasikan sebuah value yang bisa dipedomi untuk masa-masa yang akan datang. Itu juga yang saya bisa sebut sebagai visi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H