Mohon tunggu...
Julia Sukma
Julia Sukma Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Hubungan Internasional UPN "Veteran" Yogyakarta

Suka membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Evaluasi Implementasi ASEAN Convention on Counter-Terrorism (ACCT) dalam Penanganan Kelompok Abu Sayyaf

8 Desember 2024   10:48 Diperbarui: 8 Desember 2024   13:36 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Untuk menangani berbagai isu terorisme yang berkembang di kawasan Asia Tenggara, para pemangku kepentingan ASEAN berhasil mengesahkan ketentuan ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) pada Januari 2007, bertepatan dengan penyelenggaraan KTT ke-12 di Cebu, Filipina.

ACCT mengacu pada Piagam PBB, hukum internasional, serta berbagai konvensi dan protokol yang berkaitan dengan penanganan terorisme. Pedoman ini sejalan dengan upaya PBB dalam menghadapi ancaman terorisme internasional.

Konvensi ini tidak hanya menegaskan komitmen negara-negara anggota untuk melawan terorisme, termasuk upaya pencegahan dan penindasan aksi teroris, tetapi juga menekankan pentingnya memperkuat kerja sama regional. Selain itu, konvensi ini mendorong pengambilan langkah-langkah efektif melalui kolaborasi antara lembaga penegak hukum ASEAN dan otoritas terkait dalam penanganan terorisme.

Terorisme merupakan salah satu kejahatan lintas negara yang mengancam stabilitas keamanan dan pertahanan. Dampaknya tidak hanya dirasakan di tingkat nasional, tetapi juga meluas ke tingkat regional. Kejahatan ini dapat dianggap sebagai ancaman dalam skala global  dengan konsekuensi besar yang terlihat sejak awal kemunculannya. 

Kawasan Asia Tenggara termasuk salah satu wilayah yang sering dihadapkan pada aksi terorisme. Kawasan ini telah lama mengalami berbagai masalah keamanan, baik yang bersifat tradisional maupun non-tradisional. Negara-negara di Asia Tenggara sangat rentan terhadap ancaman terorisme. 

Salah satu aksi terorisme yang perlu mendapatkan perhatian serius dan diatasi secara bersama adalah keberadaan Kelompok Abu Sayyaf yang beroperasi di wilayah kepulauan Filipina. Kelompok ini terbentuk pada tahun 1993 sebagai perpecahan dari organisasi gerakan Muslim Moro yaitu  Moro Islamic Liberation Front (MILF), akibat perbedaan ideologi, sehingga melahirkan kelompok yang dikenal sebagai Abu Sayyaf.

Ancaman kejahatan yang dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf tidak hanya berdampak pada masyarakat Filipina, tetapi juga dirasakan oleh warga negara lain yang melintasi perairan Sulu. Kawasan ini merupakan wilayah strategis di perbatasan tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bagi negara-negara tersebut, terutama karena kasus penculikan yang terus terjadi secara berulang.

Pemerintah Filipina mengimplementasikan ketentuan ACCT melalui berbagai langkah strategis. Sesuai Pasal 6 ACCT Ayat 3 tentang Pencegahan dan Penekanan Pendanaan Terorisme, Filipina membentuk kerja sama melalui Joint Terrorist Financing Investigation Group (JTFIG) yang berhasil membekukan rekening bank anggota Abu Sayyaf pada 2015 setelah penyelidikan selama enam bulan.

Lalu, berdasarkan Pasal 7 ACCT tentang Yurisdiksi Negara, Filipina menggunakan Human Security Act 2007 (HSA) sebagai dasar hukum untuk menangani kasus terorisme. Namun, efektivitas HSA terbatas oleh prosedur ketat. 

Selain itu, Pasal 18 ACCT mengenai Hubungan dengan Instrumen Internasional Lainnya diimplementasikan oleh Filipina melalui kerja sama regional dan internasional. Pada 2015, perwakilan pemerintah Filipina aktif terlibat dalam berbagai pelatihan, workshop, dialog, dan pertemuan kelompok kerja, termasuk melalui ASEAN-Japan Counter Terrorism Dialogue, Australian-ASEANAPOL, INTERPOL, UNODC, UNICRI, dan Global Counterterrorism Forum. Kegiatan ini memberikan manfaat berupa peningkatan kapasitas instansi pemerintah, terutama melalui dialog kontra terorisme dengan ASEAN-Jepang dan Uni Eropa.

ACCT sebagai rezim internasional dianggap kurang lengkap karena pelaksanaannya sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing negara anggota berdasarkan hukum nasionalnya. Hal ini membuat kepatuhan terhadap ACCT bersifat tidak memaksa. Selain itu, ACCT menerapkan asas non-intervensi, yang berarti penanganan terorisme dikembalikan pada kebijakan setiap negara. Akibatnya, negara anggota seperti Filipina cenderung enggan menjalin kerja sama berdasarkan ketentuan ACCT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun