[caption id="attachment_166560" align="alignright" width="259" caption="Image from www.kusumadewix.wordpress.com"][/caption] Bulan Juli nanti, genap 12 tahun bapak saya dipanggil Tuhan. Banyak kenangan dengan bapak yang begitu membekas dalam ingatan saya sedari saya masih kecil dulu. Ah..saya masih kecil tapi bapak selalu menerapkan aturan yang tegas dan disiplin dalam berkarya. Saya dibiarkan untuk menguraikan apa-apa saja yang menjadi mimpi saya di masa depan. Saya dibebaskan untuk punya cita-cita yang tinggi sekalipun saat itu saya tidak dimanjakan dengan uang yang berlimpah ataupun dalam gelimangan harta. “Semua bisa dicapai asalkan kita tak kenal lelah untuk berusaha. Lihatlah burung-burung di udara,yang tidak menabur tapi bisa menuai. Selama Tuhan berkehendak, kita tidak boleh khawatir akan masa depan kita. Semua sudah ada yang mengatur tinggal kita mau menjalankannya.” Selalu itu yang ditekankan oleh bapak kepada anak-anaknya. Saya selalu mengagumi sosok bapak saya yang selain jujur dan bertanggung jawab, punya selera humor yang tinggi. Ketika anak-anaknya malas mencuci pakaian, bapak hanya berujar,” Ya..terserah kalian kalau nanti pakaian kotor kalian berubah jadi ular..” Kami sebagai anak-anaknya, dengan tersenyum malu dan kesadaran kemudian mencuci baju-baju kami. Tidak ada adegan bapak marah, selalu memakai perumpamaan atau sindiran yang pada akhirnya membuat kami ‘ngeh’ sendiri. Kecuali kalau kami memang sudah keterlaluan, bapak bisa marah juga. Dan kalau bapak sudah marah, semua pasti takut dan tidak ada yang berani membantah. Karena memang bapak marah karena suatu alasan. Entah karena kemalasan kami sebagai anak-anak ataupun demi kebaikan kami semua. Marah yang berdasar demi suatu kebaikan. Ada satu cerita yang cukup berkesan bagi saya saat bersama bapak. Saya masih ingat, ketika tanggal muda saat baru gajian, bapak mengajak saya ke warung bakmi goreng yang terkenal enak di tempat kami. Saat itu malam hari dan pembeli bakmi goreng cukup banyak. Bapak pesan bakmi dibungkus untuk dibawa pulang. Karena harus antri dan cukup lama menunggu, bapak memesan minuman jeruk hangat untuk saya dan bapak. Setelah minuman diantar, bapak langsung meminum karena haus. Tapi baru sedikit diminum, bapak langsung mencari-cari sesuatu. Di meja kami, ada stoples kecil berisi bubuk berwarna putih. Saya tidak terlalu memperhatikan. Bapak langsung menuang bubuk putih tersebut dalam minumannya dan sempat menawari saya kalau mau tambah gula karena minuman jeruknya terlalu asam kurang manis. Setelah diaduk, bapak meminum minumannya dan tiba-tiba bapak hampir memuntahkan minuman tersebut. Saya kaget, ada apa ? “Wah..bapak kira gula nggak tahunya garam. Masak minumannya jadi oralit.”. Saya tak mampu menahan tawa saya dan tidak menghiraukan banyak tatapan mata kearah saya dan bapak. “Bapak lagi nggak tanya-tanya..asal cemplung saja..” “Gelap soalnya, bapak kira gula..warnanya sama putih sih..” “Ha..ha..ha..” Well, pengalaman ini menjadi topik terhangat di keluarga kami saat itu dan kami tergelak bersama-sama sambil menyantap mi goreng. Bapak senyum-senyum saja saat jadi subyek perbincangan. Ada-ada saja. I miss you Father..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H