“Nduk, menjadi seorang perempuan itu harus punya kepribadian yang kuat, jangan hanya mengandalkan kecantikan saja, tapi otak harus berisi, cerdas supaya tidak gampang dibodohi, apalagi oleh laki-laki.” Nasihat dari mendiang ayahku terngiang-ngiang di telinga. Kala itu aku masih duduk di bangku kelas lima SD. Belum begitu paham apa maksud dari perkataan ayah.
Sekarang, aku tercenung mencoba menyelami apa maksud dari nasihat ayah. Kecantikan, mungkin adalah suatu keharusan atau tuntutan yang harus dipenuhi seorang perempuan. Sedangkan kecerdasan adalah suatu anugerah yang harus selalu diasah dan tak pernah berhenti untuk selalu di upgrade dengan belajar.
Aku ingat, ada sedikit kekhawatiran yang tersirat di mata ayah, ketika aku masih kelas 3 SMP ada seorang laki-laki yang jauh lebih tua dari aku mulai berani ngapel ke rumah. Tak banyak kata yang terlontar dari bibir ayah, hanya seucap kata, “Hati-hati.” Aku manggut-manggut. Umur sebelia itu, gejolak masa puber dan rasa ingin tahu yang besar mungkin tak mampu meredam hasrat yang memuncah.
Namun sebuah kata ‘hati-hati’ cukup ampuh membentengi kehormatan dan harga diriku. Dan aku selamat, ketika laki-laki itu mulai berani kurang ajar dalam memaknai kata cinta. Aku berani berkata ‘tidak’ dan segera memutuskan hubunganku dengan laki-laki itu. Aku bukan bunga yang sedang mekar yang ingin cepat-cepat dihisap madunya. Aku sedang bertumbuh, menyeleksi kumbang-kumbang yang benar-benar bisa menjaga kualitas maduku. Menjadikannya madu murni yang berkualitas tinggi. Bukan memporak-porandakannya untuk kemudian mencampakkanku begitu saja. Hedonisme dan petualangan cinta yang dikultuskan. Bukan seperti itu.
Ayah dimataku adalah seseorang yang bijaksana, pekerja keras, jujur dan sangat protect terhadap anak-anaknya. Ayah selalu mengajarkan tentang kebenaran dan realitas kehidupan yang sesungguhnya. Meskipun ayah tidak pernah bisa memanjakan anak-anaknya dengan limpahan materi. Hidup bersahaja walau kadang penuh dengan kekurangan. Tapi kami sekeluarga bisa merasakan kedamaian, dan kebahagiaan dalam kebersamaan.
Dalam kekurangan, ayah masih mengajarkan anak anaknya tentang arti berbagi, tolong menolong dan memaknai rasa syukur. Semua yang telah diberikan oleh Tuhan adalah anugerah yang harus selalu disyukuri. Jangan pernah khawatir akan hari esok karena didepan sana telah terbentang semua apa yang kita impikan bila kita telah mulai merancangnya dari hari ini. Lihatlah burung-burung di udara yang bebas terbang tinggi di angkasa, bertegur sapa dengan alam dan menikmati indahnya alam ciptaan-Nya serta tidak pernah kekurangan. Semua telah disediakan oleh-Nya. Siapa yang menabur, dia akan menuai.
Ayah selalu memberi teladan bagi anak-anaknya. Tak pernah dia mengeluh sekalipun beban hidup yang sangat berat, menghidupi istri dan kelima anak-anaknya. Ayah tetap semangat menggenjot sepeda tuanya berkeliling menyewakan buku-buku dan komik-komik bacaan. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya sekalipun lelah menderanya. Kehadirannya senantiasa ditunggu para langganannya yang setia menyewa buku-bukunya. Bahkan dengan ketulusannya, banyak yang simpati kepada ayah dan memberikan bantuan tanpa pernah ayah memintanya.
Sampai-sampai ada pasangan suami istri yang ingin belajar tentang agama yang dianut ayah hanya karena melihat cara pandang ayah dalam menyikapi kehidupan. Tanpa pernah ayah menawarkannya. Dan itu semua, di luar kehendak ayah. Yang pasti ayah hanya berusaha menjadi apa adanya tanpa harus menjadi seseorang yang kaya raya, banyak uang, kekuasaan, jika semua harus didapatkan dengan cara tidak hormat. Merampas hak-hak orang lain. Ayah tidak silau dengan segala iming-iming yang hanya akan membuatnya terlena dengan cara tidak halal. Ayah sangat takut akan Tuhan. Sehari-harinya tidak pernah lepas dari doa dan berusaha. Ayah cukup puas dengan hidup apa adanya dan nrimo.
Ayah tak pernah malu dengan statusnya walaupun kadang ada beberapa orang yang beranggapan bahwa hidup ayah begitu-begitu saja, tidak berkembang, tidak bisa cari uang dan anggapan sinis lainnya. Ayah tak pernah menghiraukan semua anggapan sinis itu. Selama ayah tidak merepotkan mereka, tidak minta makan mereka, biarlah semuanya berlalu. Ayah tetap berbuat baik kepada semua orang, menebar senyum dan melayani dengan ketulusan hati. Ayah selalu berjuang keras, meskipun usaha kerasnya kadang tidak bisa menutup kebutuhan hidup yang mahal.
Saat aku kelas 2 SD, aku diumumkan menjadi juara kelas. Betapa bangganya aku saat itu, tak terkecuali ayah. Namun aku sedikit kecewa ketika Ibu Guru tak memperkenankanku membawa pulang buku raport. Aku hanya boleh melihat nilaiku di sekolah karena aku masih nunggak SPP 2 bulan. Ayah merasa sangat bersalah atas peristiwa ini,”Maafkan Ayah belum bisa memenuhi kewajiban bayar SPP, usaha Ayah masih kurang keras,” aku berkaca-kaca.
Ayah sudah bekerja sangat keras, tapi uang yang didapat tidak pernah bisa maksimal. Hanya cukup untuk makan sehari-hari itupun dengan lauk yang seadanya. Semua beban keluarga ada di pundak ayah. Kami anak-anaknya yang masih kecil tidak boleh ikut menanggung beban dengan bekerja, kami harus sekolah yang baik dan belajar yang rajin. Dan bersyukur pada Tuhan, prestasi sekolahku dan kakak-kakakku cukup diperhitungkan di sekolah. Dan yang lebih bersyukur lagi, aku mendapatkan beasiswa karena prestasiku, dari SD sampai kuliah.
Rasanya tak akan habis berlembar-lembar halaman untuk menceritakan betapa aku sangat mengagumi ayahku. Hanya satu kebiasaan buruk ayah. Merokok. Dan rokoknya pun termasuk rokok yang berat karena meracik sendiri dari tembakau dan cengkeh dibungkus kertas cigarette yang dijual eceran di warung. Bisa dibayangkan bagaimana bahayanya. Hingga saat itu tiba. Aku baru saja berulang tahun ke-20 , ketika tiba-tiba ayah sesak nafas. Kami sekeluarga panik, dan segera berinisiatif membawa ayah ke rumah sakit. Dan ayah harus diopname. Diagnosa dokter menyatakan bahwa ayah mengalami pembengkakan paru-paru dan jantung. Kesimpulan yang diambil rokoklah penyebab penyakit ini.
Setiap hari aku menjaga ayah di rumah sakit, sepulang dari kuliah. Saat itu hari ketiga ayah diopname, nafas ayah masih dibantu dengan selang oksigen dan tangannya di infus. Wajahnya tampak pucat dan badannya melemah. Kasihan sekali aku melihat ayah. Jam di rumah sakit berdentang tepat jam 12 siang, ketiba tiba-tiba ayah berbicara,”Nduk, ayah akan dipanggil Tuhan, cium Ayah tiga kali,” aku tersentak. Dengan berlinang air mata kucium kedua pipi dan kening ayah. “ Jangan Ayah, aku belum lulus kuliah…,” seruku diantara isak tangisku. “ Tidak apa-apa, terserah Gusti…,” rasanya aku belum siap jika harus kehilangan ayah saat itu. Seharian aku tidak mau beranjak sedikit pun dari ayah, takut apa yang dikatakan ayah menjadi kenyataan. Aku belum bisa membahagiakan ayah, belum bisa menunjukkan kesuksesanku, belum bisa membalas semua pengorbanannya untukku. Kepada ibu, ayah juga mengatakan akan pergi jauh, entah jauh kemana.
Ayah ingin sekali merokok saat di Rumah Sakit. Jelas kami melarangnya, kami berbohong tidak ada penjual rokok. Penuh harap ayah memohon hanya minta satu rokok saja. Mungkin itu permintaan terakhir ayah yang tidak bisa kami kabulkan, karena dua hari setelah itu, ayah benar-benar dipanggil Tuhan. Sehari sebelumnya, ayah masih bisa mengobrol ketika kemudian tak sadarkan diri, nafasnya tinggal satu-satu. Aku menunggui hingga saat ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Begitu cepat dan tanpa kesulitan sama sekali. Dibibirnya tersungging seulas senyuman. Mungkin ayah telah menemukan kedamaiannya bersama Tuhan. Mungkin itu yang terbaik untuk semuanya. Dan aku, ikhlas menjalani semuanya, aku sudah siap kehilangan ayah jika memang telah tersedia tempat yang kekal baginya di surga. Semua penderitaannya di dunia sirna sudah. Banyak yang kehilangan figur ayah. Penjaja buku dan komik keliling itu telah berpulang…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H