Tak pernah terbayangkan sebelumnya, jika saya akan bisa makan "ungkrung". What ? Makanan apaan tuh "ungkrung" ? O..yeah..jika Anda termasuk orang yang jijikan..mending jangan dibaca deh..karena ini very-very ekstrim. Apalagi kalau ada yang phobia atau geli sama ulat. Hiiiyyy..ngebayangin bentuknya aja udah gatel-gatel. Ya kan..?
Ulat pohon Jati ( gambar dipinjam dari www.purnawan.web.id )
Adalah ulat dari pohon jati yang dikumpulkan hingga menjadi "enthung" atau kepompong, itulah ungkrung. Iya, ungkrung adalah kepompong dari ulat pohon Jati. Di Guki, alias Gunungkidul, dimana saya bermukim sekarang, ungkrung menjadi makanan favorit musiman di awal musim penghujan seperti sekarang. Rasanya..? Hm..gurih-gurih gitu deh, mirip laron. Ada yang suka laron..? Enak ya..hahahaha..
Konon, ungkrung ini mempunyai kandungan protein yang tinggi. Rasanya yang kriuk-kriuk enak ternyata bergizi tinggi. Nggak nyangka kan..
Pada awalnya, saya juga geli mendengar orang Gunungkidul suka makan ulat jati selain belalang goreng. Idih, orang Gunungkidul makanannya belalang, jangkrik, laron, ungkrung, dan lain-lain..nggak ada makanan lain apa..Memang itu seni dan kenyataannya..tak usah dipungkiri..Dan setelah saya mencoba..hm..enak juga tuh..
Penasaran..? Mau mencoba atau malah mau muntah..hihihi..ini soal selera kok. Selera makan yang dianggap aneh bagi sebagian orang. Mungkin.
Kebetulan, di belakang rumah saya ada pohon jati. Nggak menanam sendiri, tapi beli sama tanahnya yang sekarang kami tinggali di Gunungkidul. Berita tentang enaknya ulat pohon jati sudah saya dengar lama, selama saya tinggal di Guki, 5 tahun yang lalu. Namun, selama itu saya baru mencoba belalang goreng. Rasanya mirip udang kalau belalang goreng. Tentang belalang goreng, saya sudah pernah menuliskannya disini.
Bisa dibilang, baru dua kali ini saya makan ungkrung. Pertama saat dikasih tetangga yang berburu ulat di kebun jati saya. Saat itu, saya belum ngeh itu ulat mau diapaain, geli giu ngeliatnya. Kata tetangga, ulat ini yang nanti akan jadi ungkrung dan enak dimakan. Ah..masa sih..waktu itu saya setengah nggak percaya gitu. Keesokan harinya, sang tetangga memberi ungkrung goreng dan saya makan sama suami. Ternyata..wow..enak juga tuh. Kesan pertama memang menggoda. Selanjutnya..kami ketagihan..hahahahah..
Cerita yang kedua adalah baru kemarin ini saya mengolah ungkrung yang diburu oleh karyawan toko saya di kebun jati sendiri. Sebelumnya, saya cukup kaget saat menyapu di teras rumah, ada ulat jati yang semula saya kira lintah, pada jalan-jalan di lantai keramik teras.
“Ya itu ulat jati, Bu.”, .kata karyawan saya.
Oh..ini binatang yang fenomenal itu. Baru kali ini saya melihatnya secara live dan cukup jelas..*halah lebay*. Lalu ulat-ulat itu saya masukkan ke dalam plastik putih yang sudah digelembungkan supaya ada udara yang cukup. Dan paginya..ternyata ulat-ulat itu sudah jadi kepompong alias enthung a.k.a ungkrung. Lalu ulat hasil tangkapan saya ditambah dengan hasil buruan karyawan saya. Nggak banyak, tapi lumayan sih buat lauk sekeluarga yang doyan tentu saja.
Jadi, karena saya belum pernah memasak ungkrung, sama karyawan saya yang asli pribumi Guki, disarankan agar ungkrung-ungkrung itu direndam dulu dalam air panas selama beberapa menit. Tujuannya untuk menghilangkan zat-zat yang terkandung dalam ulat dan ungkrung itu yang bisa membuat alergi. Agak geli juga, karena sebagian ada yang masih berupa ulat belum menjadi ungkrung. Ih, rasanya gimana gitu waktu mencucinya dengan air panas.
“Nggak papa. Bu..yang masih jadi ulat juga enak kok”, kata karyawan saya lagi.
Oo..tapi saya mah tetap nggak tega makan yang berupa ulat, saya makan yang sudah berupa ungkrung saja.
Kembali ke cara memasak ungkrung ya..setelah direndam air panas, ungkrung-ungkrung tadi saya kasih bumbu garam dan bawang putih. Mirip kayak mau menggoreng tempe gitu. Trus setelah dikasih bumbu, baru deh digoreng. Hm..ini baru enak.
Cara memasak ungkrung nggak melulu cuma digoreng, ada juga yang suka dibacem, atau di oseng-oseng. Terserah selera ajah pokoknya. O,ya..harga ungkrung di pasaran cukup mahal lho..per kilogram bsa mencapai 60 ribu rupiah. Bahkan kalau barangnya sudah langka bisa lebih mahal dari harga daging sapi. Nah lho..
Sempet mikir juga..kalau ulat dan ungkrung-ungkrung ini dimakan, lama-lama nggak ada kupu-kupu dong. Kan sudah memutus proses metamorfosisnya. Nggak juga sih, kan pohon jatinya banyak, ulatnya banyak. Dan nggak semua orang berburu ungkrung-ungkrung ini. Jadi saya yakin, nggak akan punah. Malah bisa menyelamatkan dari hama tanaman. Ya nggak sih. Terus bisa menambah penghasilan untuk penduduk Gunungkidul juga karena harganya yang cukup mahal. Dan ada asupan makanan bergizi juga..hahahah..*sok ilmiah*
Ya sudahlah..baru sadar kalau saya sudah hampir 2 tahun tidak menulis di Kompasiana ini. Semoga tulisan perdana di 2015 ini bisa bermanfaat. Salam dari Gunungkidul with love.. Yeeaayyyy...!!!
[caption id="attachment_346325" align="aligncenter" width="342" caption="Ungkrung goreng ( gambar dipinjam dari www.masliem.blogspot.com )"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H