Angin membawa dedaunan kering ke permukaan, hawa gersang berkeliaran mengelilingiku dengan matahari yang tegak berdiri di atas kepala. Bak sedang mengejar target, ia mengikutiku bersama segerombol serangga kecil nan berisik. Ku sebut hutan ini neraka dunia, gersang, panas, bahkan tak ada ku lihat rambut-rambut pohon yang bisa ku jadikan payung untuk meneduh. Seakan semua telah dicukur habis oleh si penebang. Andai saja aku memiliki kekuatan sihir dari nenek moyang, akan ku sulap hutan gersang ini menjadi taman surga yang sejuk.
Setahun silam bersama teman sebaya, ku hampiri tempat ini untuk menyelesaikan tugas penelitian ku. Keadaan kemarin dan sekarang amatlah berbeda, bak hutan yang sama pohon yang berbeda. Dahulu begitu ramainya sang rumah bagi flora dan fauna ini, jika dibandingkan dengan ratusan gelas yang sengaja dipecahkan, suara hutan ini takkan terkalahkan. Anjing yang menggonggong, burung bernyanyi, monyet berteriak, dan gajah yang berbunyi dengan suara terompetnya. Layaknya sedang mengadakan konser, mereka bersuara di detik yang sama. Kala ini, sungguh berbeda. Perubahan yang begitu drastis didepan mata, tempat ini terasa amat sunyi nan hampa. Bahkan sedari tadi tak kutemukan pucuk hidung sang penjaga hutan ini.
Di tubuh pohon yang tak berambut, ku sandarkan raga padanya, sembari ditemani abu bakar yang berserakan. Kini langit itu terlihat jelas dengan mata yang jelih, tak ada satupun ranting pohon yang berani menutupinya. Langit pun tampak sepi, persis seperti tempat yang sedang ku jelajahi. Matahari seperti menatap ku dengan tajam, membuat mataku menutup secara perlahan. Terlintas di kepala, mengapa awan-awan itu tidak menemani ku berjalan dengan menutupi cahaya sang kerabat? Ah entahlah.Â
Roooaaaar...
Di tengah istirahat, terdengar suara bak terompet yang menggema dari arah Utara. Suara itu berulang hingga tiga kali, membuat dahi ku mengerut memikirkan suara apa itu. Hati ku berbicara, "Apakah itu suara sang spesies kunci? Tapi, apa iya masih ada satwa yang hidup di pelataran hutan ini setelah kejadian kemarin?"Â Rasa penat ku seakan hilang kala mendengar suara tersebut, bergegas ku tinggalkan tubuh sang pohon tanpa berucap apapun dan mencari keberadaan asal suara tersebut.Â
Di penghujung jalan seru langkah ku terhenti, melihat aliran sungai yang sedang disinggahi oleh seorang pria paruh baya bersama hewan bertubuh amat besar nan tinggi yang sedang asyik bermain air. Aku tahu siapa sosok lelaki tersebut, ia merupakan penjaga hutan ini. Lantas ku lanjutkan seru langkah untuk menghampirinya.Â
Nama pria itu adalah Suryadi, dirinya merupakan seorang penyendiri yang tinggal ditengah hutan. Sebenarnya hutan ini tidak memiliki penjaga, namun seringnya pengunjung yang menemui Suryadi di tengah hutan dan meminta ditunjukan arah jalan, maka dari itu Suryadi di juluki sebagai penjaga hutan ini. Selama 56 tahun dirinya hidup ditengah hutan yang sunyi ini. Awalnya dia tinggal bersama sang keluarga kecilnya namun kala itu telah terjadi kebakaran hutan yang penyebabnya masih belum diketahui sampai sekarang dan berakibat pada anggota keluarganya yang kehilangan nyawa karena terjebak di situasi tersebut. Dan kejadian itupun baru terulang kembali dibeberapa bulan terakhir namun dirinya tetap memilih untuk bertahan hidup sebatang kara disini.
Arah pandang ku seolah mengajak untuk beralih ke sebelah Suryadi, hewan bertubuh besar, nan tinggi berada didekatnya. Mungkin jika diperkirakan beratnya bisa sampai 3000-5000kg dan tingginya mungkin saja 2 - 3,5meter, hidungnya yang panjang dan telinganya yang lebar itu menarik perhatianku bahkan telapak tangan ku saja kalah lebar dengan daun telinganya. Seperti atlet tembak yang handal, firasat ku tak pernah meleset. Ternyata benar suara itu berasal dari sang spesies kunci. Dia adalah gajah, mamalia besar dari famili Elephantidae dan ordo Proboscidea. Sang pemakan daun, ranting, buah, kulit pohon dan akar.
Suryadi bicara bahwa sekelompok gajah liar yang hidup di hutan kini telah menghilang. Entah di bunuh si pemburu, mati karena terjebak kebakaran hutan atau kabur mencari tempat yang aman. Hingga sekarang hanya tersisa satu ekor gajah disebelahnya lah yang masih singgah di pelantaran hutan ini. Hutan ini memang marak terjadi perburuan liar terhadap gajah. Sang perenang handal yang mampu bertahan hingga 6jam tanpa menyentuh dasar permukaan dan berenang sejauh 48km dengan kecepatan 2,1km/jam ini di anggap sebagai makanan mewah dibeberapa negara, terutama Asia. Harga daging gajah dan permintaan pasar yang tinggi dipasar gelap mendorong peningkatan perburuan terhadap gajah. Bukan hanya dagingnya, tapi gading serta kulit gajah pun menjadi titik perburuan.
Contohnya di Afrika, perdagangan gading gajah menjadi salah satu penyebab penurunan populasi gajah Afrika di abad ke-20. Dibuatnya ornamen dan karya seni dari gading serta penggunaannya yang mampu menyaingi emas hingga memicu larangan impor gading pada Juni 1989 di Amerika serikat. CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora)Â memberlakukan larangan perdagangan gading pada Januari 1990 hingga menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran di India dan Tiongkok. Pada Januari 2012, ratusan gajah di taman Nasional Bouba Njida, Kamerun, dibunuh oleh penyerang dari Chad. Peristiwa itu disebut-sebut sebagai "salah satu pembunuhan terkonsentrasi terburuk" sejak diberlakukannya larangan perdagangan gading.
Bukan hanya perburuan liar yang menjadi ancaman keberlangsungan hidup hewan besar ini, namun alih fungsi hutan pun menjadi salah satu penyebabnya. Seperti terancamnya habitat dan populasi gajah sumatera. Satwa yang memiliki label nama latin Elephas Maximus Sumatranus ini merupakan sub spesies gajah Asia yang hidup di hutan dataran rendah pulau Sumatera dan tersebar di wilayah Aceh, Sumatera barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung. Namun hingga kini populasinya belum terlindungi dengan baik. Menurut Word Wildlife Fund populasi gajah Asia telah menyusut sebanyak 50% sejak 1900-an. Saat ini 50.000 ekor gajah Asia tersebar di 13 negara dan 2.400 ekor berada di pulau Sumatera. Namun menurut data IUCN 69% habitat gajah di pulau Sumatera telah hilang akibat deforestasi.