Anda pasti sudah bisa menebak. Kemana endingnya. Diet yang saya canangkan selalu berhasil pada mulanya. Dengan syarat tidak pergi kemana-mana. Cukup rumah kantor-rumah kantor. Isteri cukup konsisten menyediakan menu-menu berat ala dietors macam nasi merah, sayur tanpa santan, juga lauk tanpa minyak. Lalu mengemasnya untuk bekal makan siang di kantor. Lumayan untuk durasi dua minggu bisa turun sampai dua kilo.
Namun adakadabra! Semua berantakan manakala si bos bikin penugasan luar kota. Menu-menu diet andalan jelas tak berlanjut. Warung dan resto mana ada yang bikin menu khusus untuk dietors macam saya (jadi peluang usaha neh!). Belom lagi ritme kerja luar kota yang tidak mengenal waktu kapan istirahat, kapan bekerja. Jadi semakin meneguhkan alasan untuk makan banyak agar tidak loyo dikejar target penyelesaian pekerjaan. Camilan pun perlahan menjadi teman. Apalagi rasa sungkan pada rekan kerja yang tidak berpantang makan, baik jenis, volume maupun waktunya. Semakin membenamkan tekad yang semula membaja untuk mencapai berat badan ideal.
Pernah sih terpikir untuk membawa magic jar. Bikin nasi merah sendiri. Tapi aku kan laki-laki? Apa nanti kata orang hotel. Ngirit ya mas? Semakin mementahkan niat diri untuk berhasil diet.
Menolak penugasan? Kayak makan buah simalakama. Di makan, tetangga kiri-kanan mati, tidak dimakan, tetangga depan belakang yang mati. Sudah terlanjur tertanam di benak kepala banyak orang, semakin banyak penugasan luar kota berarti makin tinggi juga tumpukan pundi-pundi portofolio kita. Eman. Orang penghasilan tambahan kok ditolak. Kayak sudah banyak uang saja!
3. Ingin cepat langsing.
Budaya instan nampaknya sudah menjadi gaya hidup orang Indonesia kini. Meski sejarah yang kugemari sejak SD telah nyata-nyata membantahnya. Tak ada yang instan dengan orang-orang terdahulu dari nenek moyang kita. Hanya untuk membuat sebilah keris saja, Empu Gandring perlu tirakatan 40 hari. Untuk mengokohkan pondasi kerajaan Majapahit, Raden Wijaya menempa dirinya keluar masuk hutan, babat alas dan hidup prihatin. Petilasan-petilasan macam Borobudur dan candi-candi lainnya tentu ditegakkan dalam hitungan bulan bahkan tahun. Meskipun ada satu anomali pada hikayat Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso yang dilekatkan pada pembangunan seribu patung Candi Prambanan.
Maka ketika hari-hari telah kita lalui dengan mengurangi makan, merubah menu makan, menambah program latihan fisik dan sederet larangan yang menjengahkan, tibalah saatnya mengukur kinerja diet kita, lalu kita dapati hasilnya tak sesuai dengan harapan, maka hilang sudah semangat itu. Tuntas sudah harapan-harapan itu.  Dan diet pun tinggal cerita.
Itulah saya! Sudah berlalu satu bulan dengan segala penderitaannya dan ternyata hanya menghasilkan satu kilo penurunan saja. Langit seolah runtuh. Sungguh tak sebanding dengan segala kerja keras itu.
Sampai kemudian medical record, catatan kesehatan saya di kantor memberikan teguran yang sangat keras. Pantaskah berputus asa ?  Satu bulan turun satu kilo adalah capaian yang luar biasa. Bandingkan dengan peningkatan bobotmu. Satu kilo untuk lima tahun! Mataku seolah tak percaya. Namun catatan berat badan di kartu hijau klinik kantorku sudah pasti tak sedang berbohong.
4. Kebanyakan kondangan.
Nah ini dia!Sebagai mahluk sosial yang beranjak tua, sudah barang tentu pertemanan semakin banyak. Itu berarti semakin banyak undangan. Entah nikah, mengkhitankan anaknya, atau sekedar syukuran. Sebelum berangkat, sudah tertancap tekad untuk sekedar icip-icip. Namun apa daya, meski sekedar icip-icip, namun jenisnya banyak. Belum lagi kalau ketemu yang pas di lidah. Niat sekedar icip-icip sekejap dapat berubah jadi obrak-abrik.