[caption id="attachment_166294" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Penulis bersyukur pernah terlibat mendampingi pecandu di tiga pusat rehabilitasi narkoba. Sungguh pengalaman yang luar biasa, yang mengajarkan saya betapa berharganya kehidupan. Saat itu hampir setiap hari Penulis berbicara dengan keluarga yang anaknya direhabiltasi dan memimpin konseling kelompok bagi pecandu di beberapa lokasi di Jakarta. Pengalaman di Lapangan Setelah sepuluh tahun menekuni pelayanan ini, saya menjumpai tujuh situasi dan peristiwa yang paling menakutkan keluarga. Sewaktu-waktu kejadian itu bisa menimpa anak mereka. Pertama, overdosis. Beberapa kali saya mendampingi klien yang OD. Setiap ortu yang anaknya junkies sangat menguatirkan hal ini. Sudah tidak terhitung jumlah pecandu yang mati karena OD. Kedua, ancaman bandar dan mafia. Saya teperanjat ketika mendengarkan kisah seorang gadis berusia 25 tahun. Ayahnya depresi berat setelah anaknya meninggal. Adiknya dibunuh bandar narkoba. Sebelum dibunuh, adiknya sempat ditangkap Polisi, namun dilepas setelah ditebus keluarga. Tapi bandar dan mafia di atasnya menganggap adiknya itu telah membocorkan rahasia. Mayatnya dibuang di sebuah semak-semak dipinggiran kota Jakarta. Ketiga, diperas oknum Polisi. Peristiwa ini sudah biasa. Baik dari pengalaman mendampingi keluarga klien, cerita ketiga abang Penulis yang bekerja di kepolisian, sharing teman-teman di LSM hingga berita media. Keempat, masuk penjara. Setelah proses pengadilan, keluarga tak luput harus berhadapan dengan oknum jaksa dan hakim. Terutama jika ortu tidak mau anaknya berlama-lama di LP. Oknum tersebut sudah punya “tabel jenis hukuman”. Pengurangan hukuman berimplikasi dengan duit. Bukan 3-4 juta, tapi puluhan hingga ratusan juta rupiah. Di dalam LP pun si anak bisa diperas. Belum lagi situasi penjara yang kurang manusiawi. Kenyamanan di LP perlu ditebus dengan “apel Malang” Kelima, anak putus sekolah. Betapa malu hati orangtua saat ditanya rekan atau kerabatnya, “Anak ibu ini sekolah dimana?” Tidak sedikit pecandu putus sekolah/kuliah. Ini juga menjadi bayang-bayang gelap keluarga. Orang tua senantiasa memikirkan masa depan sekolah, karir hingga pasangan hidup anak mereka. Keenam, harta terkuras habis. Beberapa keluarga sangat trauma dengan masalah ini, sebab menguras harta mereka. Apakah karena dicuri dan dijual anak, menebus si anak dari penjara hingga biaya pengobatan dan rehab yang tidak kecil. Dua tahun lamanya saya mendampingi keluarga mantan diplomat di Eropah. Kekayaannya ludes karena anaknya 7 tahun menjadi pecandu. Ketujuh, terinfeksi HIV/AIDS. Tidak sedikit pemakai putaw terinfeksi karena sering gonta-ganti alat suntik yang tidak aman. Sebagian lainnya karena melakukan hubungan seks bebas. Saat mendampingi kelompok keluarga dengan masalah HIV/AIDS umumnya anak-anak mereka adalah pecandu. Teror Menakutkan Semua cerita dan peristiwa di atas menjadi teror yang menakutkan, horor yang mengerikan. Biasanya mereka memiliki komunitas sesama keluarga pecandu. Cerita itu selalu saja muncul, membuat para ayah dan Ibu mereka cemas dan sulit tidur nyenyak. Belum lagi menimbulkan konflik antar anggota keluarga. Ayah menyalahkan ibu, anak menyalahkan ayah, dst. Tanggung Jawab Pemerintah Keseriusan pemerintah sangat kita harapkan. Bukan saja menangani mafia narkoba dan para bandar di luar institusi pemerintah. Tetapi terutama mengatasi “mafia oknum” di dalam yang menjadi penyebar maut dari dalam institusi. Di antaranya para oknum Polisi yang dengan sengaja melepaskan pecandu dengan tebusan tertentu. Oknum jaksa dan hakim yang mempermainkan keluarga karena punya kuasa meringankan tuntutan dan putusan hukum. Terakhir, minimnya pusat rehabilitasi yang baik di negri ini, termasuk LP khusus narkoba, tersedianya tenaga konselor dan pendamping terlatih bagi mereka. Ini merupakan tanggung jawab pemerintah menyediakannya. Kalau pemerintah tidak serius menangangi, masalah ini terus menjadi lingkaran setan, dan mengancam masa depan keturunan kita, termasuk anak-cucu para pejabat negri ini. Kalau tidak sekarang, mungkin nanti. Julianto Simanjuntak*** Thn 2006 Penulis Mendapatkan penghargaan dari Kepala BNN, Made Mangku Astika (Sekarang Gubernur Bali) atas kiprah pelayanan Penulis diantara keluarga pecandu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H