Mohon tunggu...
Julianto Simanjuntak
Julianto Simanjuntak Mohon Tunggu... profesional -

.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kiat Memberi Hadiah pada Anak

3 Juni 2011   00:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:56 4174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_113896" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi-Seimbangkan Motivasi Internal dan Eksternal pada anak/Admin (shutterstock)"][/caption]

*** Julianto Simanjuntak **

Beberapa hari lalu Moze mengatakan pada Mamanya “Aku nggak jadi minta Ipod (Game) deh Ma untuk  hadiah naik kelas. Beliin sepeda saja, biar aku bisa ke tempat les dengan sepeda.”

Pernyataan ini membuat kami berpikir. Moze memang sempat meminta Ipod sebagai penghargaan untuk kenaikan kelasnya. Alasannya supaya bisa main dengan teman. Pertimbangan saya, apakah naik kelas perlu disusul dengan hadiah? Kalau ya, sejauh mana alat ini bermanfaat bagi anak saya? Apakah Ipod dapat mengembangkan hal-hal penting dalam dirinya, misalnya menulis, membaca, berkomunikasi? Atau hanya untuk main game dengan teman? Sebelum saya sempat memutuskan, Moze sudah mengajukan proposal lain.

Sebentar lagi anak-anak kita akan naik kelas. Ada juga yang akan lulus, karena menyelesaikan pendidikan di TK, hingga SMU. Ada satu kebiasaan umum anak-anak menjelang kenaikan kelas, yakni minta hadiah pada orangtuanya. Hal yang sama, tidak sedikit orangtua menjanjikan hadiah pada anaknya jika nilai rapornya baik.

[caption id="attachment_111774" align="alignleft" width="300" caption="Hadiah baik diberikan sebagai hadiah naik kelas saat masih kecil (ill.Google)"][/caption]


Cara Berpikir Anak: Konkret dan Abstrak

Apakah memberikan hadiah pada anak saat naik kelas adalah sesuatu yang mendidik? Jika anak-anak masih kecil, TK atau SD mungkin bermanfaat. Sebab di usia itu anak masih berpikir konkret. Mereka merasa disayang saat ada bentuk sayang atau penghargaan yang kelihatan, seperti hadiah.

Namun sesudah anak menginjak remaja dan duduk di SMP, kebiasaan itu harus dikurangi atau malah ditiadakan. Saat remaja, anak harus sudah belajar bahwa sekolah dan mendapat nilai yang baik merupakan kewajibannya sebagai seorang pelajar. Dia sudah mampu berpikir abstrak, memahami tujuan dia bersekolah. Andai orangtua memberikan sesuatu, hendaklah itu bukan karena dia naik kelas tetapi karena anak memang membutuhkannya. Baik juga ortu  memberikan hadiah pada saat anak ulang tahun dan mencapai prestasi tertentu.

Jika tradisi memberi hadiah diteruskan hingga anak besar, maka motivasi intrinsik (dari dalam) belajar dan berprestasi sulit tumbuh dengan baik. Semangat belajar anak lebih didorong dari luar (ekstrinsik). Semangat belajar anak harus keluar dari kesadaran ini:  karena saya dicinta orangtua, maka saya harus belajar dengan baik. Inilah kesadaran intrinsik. Bukan karena kesadaran demikian: supaya aku disayang orangtua, maka aku harus rajin belajar sehingga naik kelas. Kesadaran ekstrinsik ini pada saat atau usia tertentu memang baik, tetapi jangan menjadi suatu kebiasaan.

[caption id="attachment_111775" align="alignright" width="300" caption="Tanamkan pada anak belajar adalah kewajibannya, hadiah adalah anugerah (ill.Google)"][/caption]

Cinta Manipulatif: Kamu Baik, Aku Baik

Tanpa sadar sebagian orangtua selama ini memberikan cinta manipulatif pada anak. Cinta manipulatif adalah, “Mama sayang kalau kamu mau menjaga adikmu selama mama tidak di rumah”  atau “Papa belikan kamu hadiah kalau kamu rajin belajar.”

Pada usia dan situasi tertentu ini bisa saja kita pakai. Terutama saat anak masih kecil, atau anak kita punya kesulitan tertentu misalnya taat pada orangtua. Cara ini bisa dilakukan ketika anak sedang membutuhkan motivasi dari luar, yang lebih kuat dari pada motivasi dalam dirinya sendiri (anak yang kurang motivasi).

Sebagai orangtua kita perlu mengembangkan dan membiasakan cinta tak bersyarat pada anak. Artinya, kita memberikan sesuatu pada anak meskipun ia sedang melawan atau tidak menyukakan hati kita. Biasakanlah mengasihi dan berbuat baik pada anak, saat dia gagal. Sebab tidak selamanya anak kita berperilaku dan bersikap baik. Ada kalanya juga dia tidak berhasil.

Ketika anak mendukakan kita oleh sesuatu peristiwa, sebagai orangtua kita perlu belajar tetap mengasihi dia, memberinya selalu ada kesempatan kedua. Misalnya anak remaja Anda yang duduk di SMU  perlu refreshing. Kebetulan ada perpisahan  dengan kelompok belajarnya, dan mereka bermaksud ke kota lain. Saat itu kita sedang marah pada anak karena dia melawan. Kita bisa katakan padanya,  “Nak, minggu ini Mama sedih dan kecewa dengan sikapmu pada Mama. Tetapi karena Mama sayang kamu, Mama izinkan kamu pergi dengan temanmu. Tetapi Mama harap kamu perbaiki sikapmu pada Mama. Ingat itu ya, Nak…!” Cinta seperti ini akan sangat berbekas di hati anak hingga masa dewasanya.

[caption id="attachment_111776" align="alignleft" width="300" caption="Menerima anak apa adanya, menanamkan kesan kuat kasih ortu hingga anak dewasa (ill.Google)"][/caption]

Cinta yang Dewasa: Menerima Anak Apa Adanya

Jika kita mengasihi dan berbuat baik pada anak saat ia bersikap menyenangkan hati saja, itu adalah cinta manipulatif. Terkadang  cinta itu tidak salah pada kondisi tertentu. Namun ada saatnya anak (terutama remaja) membutuhkan cinta tak bersyarat dari orangtua. Remaja membutuhkan kondisi diterima apa adanya, bukan ada apanya. Remaja adalah usia untuk mencari identitas diri untuk membangun perasaan berharga. Karenanya mereka sering bingung dengan emosi, pikiran dan perilaku mereka.

Di sini kedewasaan cinta orangtua diuji, apakah hanya menerima dan menyayang anak saat si anak baik-baik. Jika kita tidak dewasa dalam mengelola emosi cinta kepada anak-anak, maka kita dapat terjebak membedakan anak. Kita bisa jatuh pada situasi lebih sayang pada anak yang manis kelakuannya, dan kurang peduli pada anak yang cenderung memberontak. Sikap ini justru menyuburkan sikap melawan anak pada orangtua. Hal-hal ini rutin kami bicarakan saat orangtua konsultasi tentang anaknya.

Marilah kita mendewasakan emosi sebagai orangtua, belajar mencintai anak tanpa syarat.   Kembangkanlah hati yang mengasihi dan menerima anak apa adanya. Itulah kebutuhan anak-anak kita pada zaman yang sangat sukar buat mereka tumbuh sebagai anak yang baik. Dukungan dan kasih orangtua seperti ini bagaikan oase di tengah “padang gurun” pergaulan anak-anak. Ini akan memberi mereka pengharapan, di tengah kekecewaan di sekolah dan pergaulan. Jika orangtua mencinta mereka apa adanya,  mereka akan selalu merindukan pulang ke rumah bertemu kita.  Home sweet home.

@Juliantowita

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun