Mohon tunggu...
Mas Anto
Mas Anto Mohon Tunggu... Psikolog - Bak seorang ordosentri, pagi selalu datang merampas kebebasanku untuk bermimpi.

Anggap saja argumen ini tidak lebih dari sekedar dalih klise semata.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Pak, Mak, Ngapurane Lebaran Iki Ora Balik!"

16 Juni 2018   19:00 Diperbarui: 16 Juni 2018   19:36 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasil dari refleksi diri, dimana ketika seseorang sudah ditempa dengan keikhlasan dan kesabaran demi untuk menghapus kesalahan-kesalahan yang sudah diperoleh. Yap betul, dua hari terakhir adalah hari kemenangan untuk seluruh umat muslim di dunia. Kemenangan dalam menaklukan ego masing-masing. Namun kembali lagi, hanya Tuhan YME yang lebih tahu apakah pengorbanan ikhlas kita diterima atau tidak.
Hari ini lebaran, kemerdekaan bagi setiap muslim. Semua umat muslim merayakan kemenangan. Berkumpul dengan sanak family, saling memohon & memberi maaf. Momen kebahagiaan yang ditunggu-tunggu.
Namun, entah mengapa lebaran seolah menjadi parade kemunafikan semu. Bertemu orang-orang yang asing, memasang muka mainan, terpaksa tersenyum seraya mengucapkan maaf lahir batin. Merekalah, orang yang hanya ditemui setahun sekali, orang-orang asing yang entah dari mana asalnya, meminta maaf untuk kesalahan yang saya dan dia tidak tahu kapan kejadiannya.

Simbok adalah orang yang paling bersedih ketika Ramadan berakhir dan mendapat kabar kalau saya tidak pulang mudik tahun ini. Awalnya saya pikir simbok berlebihan dan sedang memainkan peran melankolis drama korea. Tapi simbok serius, ia merasa bahwa hanya ketika Ramadan saja ia bisa mengumpulkan anak-anaknya tanpa diminta. Berbeda dengan Bapak, hanya diam  dengan kekecewaannya tanpa berkomentar, dan sibuk dengan kerjaan yang yang dibuat-buat. Saya tidak pernah paham apa maksudnya, tapi saat lebaran, ketika saya mencium tangan keriput untuk meminta maaf, mata mereka memerah dan berair. Saya tahu Simbok & Bapak tidak rela meninggalkan kebersamaan itu. Tapi inilah realita yang harus diterima.

Saya memutuskan tidak mudik tahun ini bukan karena tidak rindu Bapak/Simbok dan keluarga, atau tidak ingin bertemu teman-teman. Saya hanya tidak ingin tangan ini hanya terpaku diam tanpa meninggalkan manfaat. Memang bukan itu yg diharapkan dari mereka, tapi dari hati kecil tetap menolak untuk hanya berpangku tangan.
Yang kedua, saya malas untuk kemudian mesti bertemu orang-orang menyebalkan dengan pertanyaan-pertanyaan konyol . Kapan kawin? Kenapa pacaran beda agama? Kenapa dulu memilih putus dengan Natasha Wilona? Kenapa memilih China? Kenapa membela Jokowi? Kenapa mendukung Trump dengan kebijakannya? Kenapa membela Netanyahu yang memblokade Gaza? Dan sebagainya dan sebagainya. Mereka tidak pernah meminta jawaban. Mereka sedang menghakimi.
Mudik dari perantauan ketika lebaran barangkali adalah bentuk lain dari kemewahan. Tapi tidak semua orang punya kemewahan untuk bisa menghadapi orang-orang di kampung halaman. Bertemu dengan kawan lama, sahabat lama yang bisa jadi lebih baik, stuck di tempat atau mengalami dekadensi moral dan pemikiran yang mengerikan.
Seorang kolega, baru-baru ini telah memberikan pandangan kritis untuk berpikir offensive kedepan. Ketika ini terjadi, Anda bisa memilih antara mengiyakan atau bahkan menentang. Bagi saya, ada beberapa hal yang memang bisa ditoleransi, dinegosiasikan, dan dibiarkan untuk sesuatu yang lebih baik. Kawan saya ini terlalu berharga untuk sebuah perdebatan atas nama paham, yang bahkan saya mendukung keberadaannya ditengah-tengah dekadensi moral saat ini.
Di Bogor, lebaran ternyata membuat kota ini menjadi demikian manusiawi, jalanan menjadi lengang, udara sedikit lebih baik, kebisingan berkurang, dan tentu saja nyinyiran dan gunjingan juga menyusut. Karena sebagian besar sedang berduyun-duyun mengkontaminasi daerah pelosok yang kearifan lokalnya terjaga. Ini adalah sebuah ancaman.
Tapi, kesepian dan kesunyian adalah dua komoditas penting di Bogor. Menjadi sepi dan sunyi barangkali adalah kemewahan yang tidak bisa dimiliki oleh setiap orang. Anda bisa mendapatkan itu ketika lebaran tiba, ketika para pengadu nasib memutuskan untuk kembali ke kampung halaman.
Tentu saja kesepian itu mengerikan. Sendiri di tanah rantau tanpa ada keluarga. Namun itu harga yang pantas dibayarkan untuk sebuah ketenangan. Sepanjang jalur mudik bisa jadi adalah jalur yang tidak pernah tidur selama sepekan lebih. Momen lebaran adalah momen ketika ada yang ingin tulus bertemu setelah sekian lama tidak bertatap muka langsung. 

Namun, beberapa dari mereka ingin bertemu karena ingin membandingkan kesuksesan, nasib, atau bahkan menertawakan kesialan orang lain. Selain itu, mereka ingin menunjukkan bahwa mereka telah satu derajat lebih tinggi daripada mereka yang memutuskan tinggal dikampung halaman. Mendikte bahwa kota telah membuat mereka menjadi modern, maju dan bermartabat. Seolah-olah tinggal di kampung halaman zaman akan berhenti, pola pikir dan pembangunan mandeg, serta informasi tersendat. Sebuah kepongahan imbas dari ketidaksiapan jati diri seseorang untuk menerima satu langkah kesuksesan. Tidak siap tersleding oleh gaya hidup urban jaman now.
Bogor kehilangan beban moral ketika lebaran tiba. Gedung perkantoran, pasar tradisional, pusat perbelanjaan modern, jalan utama yang tiba-tiba sepi. Berharap agar keadaan seperti ini abadi, namun mustahil. Bogor adalah kepongahan itu sendiri. Tergusur dan kehilangan identitasnya untuk kemudian terpaksa terpuruk karena tidak mampu bersaing dengan kerakusan.
Jalan raya Jakarta - Bogor, Ir. H. Juanda, Yasmin, Ciampea, Dramaga, Pajajaran, Tol Jagorawi dan seluruh simpul kemacetan terurai otomatis. Tidak ada lagi umpatan mobil bego, motor bangsat, angkot setan, pkl gak punya otak, dan sejenisnya. Pengendara mobil dengan riangnya menikmati radio dan jalanan yang sepi, mengendarai motor bisa sambil kayang, pkl bebas salto sambil menawarkan dagangan, angkot bebas memainkan diskotik mininya. Utopia yang mustahil diwujudkan namun terealisasi ketika lebaran tiba. Kembang api dan suara takbir yang bersahutan menghadirkan imaji bahwa kota kecil ini sedikit waras.

Pura-pura optimis dan getir dengan menuliskan sebuah artikel tentang betapa munafiknya perayaan lebaran di kampung halaman, padahal jauh di dalam hati, berharap bisa pulang untuk merayakan lebaran bersama orang-orang terkasih.

 "
Kesepian mengajarkanmu untuk menghargai kebersamaan. Kesunyian membuatmu belajar memuliakan pertemuan. Kejam pada mereka yang lemah hati, namun pada saat yang sama mengajarkan tentang pentingnya menjadi manusia. Kesendirian adalah sahabat terbaik dari rasa pedih. Menghadirkan banyak kesempatan, tapi juga menyuplai banyak kekecewaaan.
"

Salam,

Mas Anto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun