Saat ini TNI menjadi institusi yang paling dipercaya oleh publik, Dalam rilis survei terakhir dari Indostrategic, TNI dipercaya oleh 84,9 persen rakyat. Bahkan, tingkat kepercayaan pada institusi ini mengalahkan Lembaga Kepresidenan sebagai pucuk tertinggi pemerintahan Republik ini. Reputasinya juga berhasil meludahi partai politik selaku institusi demokrasi dalam infrastruktur politik nasional.
Keberhasilan TNI dalam menjaga citranya di hadapan publik menjadi modal utama. Oleh karena itu bisa diasumsikan tidak peduli siapapun panglima-nya, TNI masih akan menjadi institusi yang paling dipercaya. Kita selalu mendengar bahwa politik TNI adalah politik negara, dan bisa saja itu yang membuat legitimasi publik kepada TNI begitu tinggi karena dianggap tidak berkepentingan lebih.
Sebagai institusi dengan approval rating yang tinggi, TNI memiliki tugas berat khususnya untuk terus menjalankan amanat reformasi untuk menyelesaikan agenda reformasi di struktur TNI. Terlebih, perdebatan seputar calon pemimpin tiga matra pertahanan nasional kita masih akan terus bergulir hingga Presiden Jokowi menyerahkan nama calon panglima TNI ke DPR.
Bursa Calon
Jenderal TNI Andika Perkasa, Laksamana TNI Yudo Margono, dan Marsekal TNI Fadjar Prasetyo adalah perwira tinggi TNI yang masing-masing mengepalai Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Jika kita ingin mengikuti pola rotasi kepemimpinan Panglima TNI, setelah Marsekal TNI Hadi Tjahjanto yang berasal dari Angkatan Udara lepas jabatan pada November 2021, maka automatis peluang Fadjar Prasetyo selaku Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) sebagai calon panglima TNI sudah tertutup.
Tersisa dua nama yaitu Andika Perkasa dan Yudo Margono dengan peluang yang sama. Skenario pertama jika Andika Perkasa yang saat ini menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) diangkat menjadi Panglima TNI, maka masa baktinya hanya satu tahun karena beliau adalah angkatan 1987 Akademi Militer (Akmil) dan akan memasuki masa pensiun pada tahun tahun 2022.
Pada skenario kedua, jika Yudo Margono diangkat sebagai Panglima TNI, maka masa baktinya akan selama 2 tahun. Diketahui beliau adalah angkatan 1988 Akademi Angkatan Laut (AAL) dan akan memasuki masa pensiun pada tahun 2023. Jika menilai efektivitas masa jabatan, maka posisi Yudo Margono dinilai akan menjadi yang paling efektif karena memiliki durasi yang lebih lama. Sehingga, ia bisa menyelesaikan berbagai agenda dalam tubuh TNI.
Namun skenario tersebut hanyalah tulisan di atas kertas. Kembali lagi, Presiden lah yang memiliki hak prerogatif untuk menentukan siapa yang akan menjadi bawahannya untuk urusan pertahanan negara.
Menariknya, menjelang masa pensiun Panglima TNI, Presiden Jokowi hingga Selasa (7/9) masih belum memberikan surat presiden untuk fit and proper test calon panglima ke DPR. Selain itu, DPR juga menghormati keputusan Presiden yang tak kunjung memberikan rekomendasinya ke mereka. Karenanya bisa dikatakan baik dari eksekutif dan legislatif negeri kita masih wait and see sehingga perdebatan publik terkait siapa yang akan menjadi panglima masih akan terus menghiasi media.
Kemungkinan Koneksi
Sebagai lembaga yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, posisi Panglima TNI dan juga Kapolri akan ditunjuk langsung oleh Presiden. Sehingga intervensi politik hingga rekomendasi berbagai pihak tidak akan berpengaruh signifikan.
Melihat pola penunjukkan oleh Jokowi, angin segar seolah menghampiri Andika Perkasa. Sebelumnya hal serupa juga menghampiri Listyo Sigit yang ditunjuk sebagai Kapolri oleh Presiden pada Januari 2021 yang lalu. Sebelumnya Jenderal Pol Listyo Sigit pernah menjabat sebagai Ajudan Presiden RI pada tahun 2014 sehingga pengabdiannya terlihat langsung oleh Presiden dan memuluskan langkahnya menjadi Kapolri.
Kemungkinan serupa bisa saja terjadi pada Andika Perkasa. Diketahui bahwa beliau pernah menjadi Komandan Pasukan Pengaman Presiden (Danpaspampres) pada tahun 2014, di tahun pengabdian yang sama dengan Listyo Sigit. Namun tetap saja publik hanya bisa berspekulasi dan menanti berbagai kemungkinan yang ada.
Jika kita melihat rekam jejak dari dua nama di bursa, Andika Perkasa saat ini memang tengah berada di atas angin. TNI baru saja sukses melaksanakan latihan gabungan antara TNI AD dengan Angkatan Darat Amerika Serikat dalam program Garuda Shield XV pada Agustus 2021 yang menjadi pelatihan militer terbesar kedua negara.
Sementara itu, kejadian tenggelamnya KRI Nanggala 402 pada April 2021 lalu menjadi pukulan telak yang mencoreng rangkaian prestasi Yudo Margono. Keduanya memiliki rekam jejak yang berbeda, dan tentu itu bisa menjadi bahan pertimbangan objektif untuk memutuskan siapa yang layak menjadi panglima TNI.
Beban Agenda Reformasi
Terpilihnya pemimpin baru berbanding lurus dengan program baru yang menjadi harapan. Reformasi dalam tubuh TNI selalu menjadi diskursus menarik selepas reformasi 1998. Setelah pemisahan TNI-Polri, civil society masih menunggu perubahan komprehensif dalam tubuh TNI.
Beberapa poin yang selalu menjadi sorotan dalam agenda reformasi TNI setidaknya berkutat pada beberapa hal, yaitu: (i) Revisi Komando Teritorial, (ii) Revisi UU 31/1997 tentang Peradilan Militer, dan (iii) Intervensi TNI dalam jabatan publik.
Demokrasi yang mehendaki adanya supremasi sipil atas militer mengharuskan TNI untuk lebih terbuka dan mendengar pendapat publik. Bergaungnya tuntutan publik akan reformasi di TNI setidaknya harus menjadi agenda utama panglima terpilih ke depannya.
Setidaknya kita bisa melihat beberapa tokoh senior TNI yang mendukung agenda reformasi secara komprehensif, seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan Agus Widjojo. Dukungan dari para Purnawirawan sangatlah penting untuk mewujudkan agenda reformasi. Setidaknya, beban agenda reformasi yang akan dipikul oleh Panglima TNI baru tidak akan begitu berat jika mendapatkan dukungan moral dan politik dari para senior.
Berkat reformasi, TNI sudah merelakan ‘supremasi’ nya terkikis dan diserahkan kepada sipil. Selain ditentukan oleh keinginan dari internal TNI, reformasi yang komprehensif juga harus berasal dari political will sipil yang tinggi. Sebagai representasi sipil tertinggi dalam negara, Presiden harus menjadi tonggak utama untuk mewujdkannya. Selain itu, harus disertai dengan input melalui berbagai rekomendasi dari civil society dan partai politik yang bisa menjadi pelumas untuk mewujudkan institusi TNI yang lebih profesional dan demokratis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H