Mohon tunggu...
Bernadette Esther Julianery
Bernadette Esther Julianery Mohon Tunggu... -

Sarjana ekonomi dari Universitas Indonesia. Meneruskan studi di Program Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan di universitas yang sama. Bekerja di Litbang Kompas dengan preferensi masalah perkotaan dan politik lokal. Menulis mengenai dua hal itu untuk Kompasiana, di samping masalah lainnya yang masih terkait dengan bidang keilmuan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Zebra Cross

3 November 2008   02:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:25 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah berapa banyak zebra cross di Jakarta. Garis putih dan hitam yang berjejer memotong jalan raya itu tidak hanya ada di setiap pertigaan dan perempatan. Marka jalan - yang menurut Wikipedia tebal garisnya 300 mm dan panjang sekurang-kurangnya 2500 mm - juga ada di jalan raya yang membentang lurus. Ia adalah bidang jalan tempat pejalan kaki yang menurut peraturan lalu lintas mendapat prioritas untuk menyeberang.

Tetapi di Jakarta, kota yang menyandang predikat metropolitan, zebra cross jarang sekali berfungsi. Ia terkesan hanya sekadar sebagai penanda bahwa jalan raya dan pemakai jalan raya di Jakarta menganut aturan dan memahami ketentuan yang berlaku universal itu.

Hanya di sedikit tempat kita dapat menyaksikan bahwa disiplin warga masih ada. Salah satu zebra cross yang berfungsi baik adalah zebra cross di Jl. Merdeka Selatan, sekitar 100 meter dari kantor Gubernur DKI Jakarta. Di tiang lampu lintas di situ ada tombol untuk menghidupkan lampu merah, meminta kesempatan untuk menyeberang. Ketika lampu menunjukkan warna merah, semua kendaraan berhenti, dan penyeberang dapat melintas dengan aman.

Di luar Jakarta, zebra cross di Lippo Karawaci, di dekat Time Bookshoop, dapat dijadikan contoh baik. Ia punya tombol pengatur lampu lalu lintas. Juga ada penunjuk waktu dan alarm yang akan berbunyi nyaring selama 20 detik, waktu untuk menyeberang jalan. Petugas berbaju biru tua berada di masing-masing sisi jalan. Mereka mengatur dan mengawasi para pengendara, memberi isyarat agar berhenti pada saat alarm mulai berbunyi.

Di berbagai tempat lain di Ibu Kota, keadaannya sangat sering berkebalikan dengan itu. Di jalan mana pun di Jakarta, pada saat lampu lalu lintas berubah menjadi merah, kendaraan terdepan berhenti tepat di atas zebra cross . Sepeda motor, mikrolet, bus, dan mobil pribadi, menutupinya.

Tak ada ruang yang nyaman dan aman untuk orang melintas. Pejalan kaki berjalan zig-zag di sela-sela kendaraan itu, terburu-buru karena bila lampu lalu lintas berubah jadi hijau, semua kendaraan akan langsung tancap gas. Biasanya, ia diiringi lengkingan klakson, isyarat dari orang yang kehilangan kesabaran, mengusir manusia di atas ruang yang sebetulnya menjadi haknya.

Hanya saja, yang berkelakuan buruk bukan cuma pengendara. Pejalan kaki pun kerap mengabaikan keselamatannya, menyeberang tidak di zebra cross , atau bahkan di bawah jembatan penyeberangan. Di jalan raya Jakarta, keselamatan manusia bagaikan hal yang sifatnya untung-untungan.

Berdirilah di tepi jalan. Amati cara warga menyeberang, serta cara warga "tidak menghormati" zebra cross dan manusia yang melintas di situ. Maka yang tampak adalah disiplin yang rendah, tingkat keterdidikan masyarakat, dan budaya yang memprihatinkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun