Mohon tunggu...
Bernadette Esther Julianery
Bernadette Esther Julianery Mohon Tunggu... -

Sarjana ekonomi dari Universitas Indonesia. Meneruskan studi di Program Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan di universitas yang sama. Bekerja di Litbang Kompas dengan preferensi masalah perkotaan dan politik lokal. Menulis mengenai dua hal itu untuk Kompasiana, di samping masalah lainnya yang masih terkait dengan bidang keilmuan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sampahmu, Urusanmu

22 Oktober 2008   04:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:25 1007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bantaran Kali Ciliwung antara Tanjung Barat dan Cililitan dapat menjadi bukti bahwa warga Jakarta tidak mengelola sampahnya. Mereka sekadar menjauhkan atau menyembunyikan sampah itu. Di daerah aliran Ciliwung yang hanya 12 kilometer itu, para aktivis pencinta lingkungan yang tergabung dalam Fauna and Flora International (FFI) melakukan penelitian pada Juli 2007 dan menemukan 34 tempat pembuangan sampah ilegal, 22 lokasi di wilayah Jakarta Selatan dan 12 lokasi di Jakarta Timur. Sampah di bantaran sungai ini tidak pernah diangkut dari lokasi itu. Ia dimusnahkan dengan cara dibakar, dihanyutkan warga ke kali, atau hanyut disapu banjir.

Ketiadaan lahan sebagai tempat pembuangan, terbatasnya sarana pengangkut yang disediakan pemerintah kota, harga jual tanah di tepi sungai serta potensi ekonominya yang rendah karena sering kebanjiran dan rawan longsor menjadi alasan menjadikan bantaran sungai sebagai tempat menyembunyikan sampah. Jadilah ia tempat sampah liar.

Pengendalian tempat sampah liar seperti ini tidaklah mudah. Siapa saja bisa membuang sampah di situ. Setelah sampah ini ditumpahkan ke kali atau berjatuhan dari tempat pembuangan ilegal itu, ekosistem sungai pun rusak, banjir begitu mudah terjadi.

Kemampuan tampung tempat sampah liar ini bisa dibedakan menjadi tiga, yaitu kategori 1 (volume sampah 5 m3), kategori 2 (1.000 m3), dan kategori 3 yang menampung sampah lebih dari 5.000 m3 karena lokasinya di tepi sungai, jika banjir datang, sampah itu akan dibawa arus dan volume sampah di bantaran yang rendah akan berkurang dengan drastis (lihat tabel).

Pada zaman adanya kesadaran menyelamatkan Bumi seperti sekarang, agaknya tak ada jalan lain selain mengharuskan setiap orang bertanggung jawab atas sampah yang mereka hasilkan. Kewajiban mengurus sampah sendiri itu diatur oleh Undang-Undang Pengelolaan Sampah yang baru saja disetujui DPR pada Mei 2008. UU Nomor 18 Tahun 2008 itu dibuat untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim akibat rusaknya lingkungan, termasuk gas metan yang bersumber dari sampah. Pemerintah akan mendorong sistem 3R sebagai pengganti open dumping atau tempat pembuangan akhir (TPA) yang banyak diprotes masyarakat.

Sampah adalah barang sisa yang oleh warga sering hanya sekadar dijauhkan dari dirinya. Ke mana sampah itu kemudian pergi, terserah kepada sampah itu sendiri. Jakarta rupanya tidak sekadar kekurangan petugas pembuang sampah, gerobak, dan truk pengangkut, serta lahan tempat pembuangan akhir. Jakarta selama ini sebetulnya juga kekurangan usaha dalam menyadarkan warganya. Kelak jika UU Pengelolaan Sampah sudah berlaku perlu dilihat apakah dapat mengubah keadaan.

(BE Julianery /Litbang Kompas)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun