Mohon tunggu...
Bernadette Esther Julianery
Bernadette Esther Julianery Mohon Tunggu... -

Sarjana ekonomi dari Universitas Indonesia. Meneruskan studi di Program Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan di universitas yang sama. Bekerja di Litbang Kompas dengan preferensi masalah perkotaan dan politik lokal. Menulis mengenai dua hal itu untuk Kompasiana, di samping masalah lainnya yang masih terkait dengan bidang keilmuan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sampahmu, Urusanmu

22 Oktober 2008   04:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:25 1007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENYEKA keringat dengan tisu, mencuci rambut dengan sampo dalam sachet, membeli penganan berbungkus plastik, sampai sekadar iseng makan kuaci menjadikan setiap orang sebagai produsen sampah. Sampah kini tidak lagi sekadar bermakna kotor karena sudah melahirkan dampak buruk terhadap lingkungan.

Sampah di kota besar sudah jadi masalah yang bagaikan tak terselesaikan. Lebih dari 70 persen responden dalam jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas menyatakan belum memisahkan sampah organik dan anorganik yang mereka produksi. Sekitar 60 persen dari mereka tidak tahu konsep pengelolaan sampah yang dinamakan 3-R (reduce, reuse, dan recycle).

Jajak pendapat ini dilaksanakan pada 29-30 April 2008 dengan mewawancarai 365 responden. Mereka semua warga Jakarta, yang dipilih secara acak melalui buku telepon. Responden yang menyatakan belum memisahkan sampah organik dan anorganik di rumah mereka mencapai 73,2 persen. Alasannya beragam.

Sebagian dari mereka (27,1 persen) menyatakan, pemilahan sampah itu merepotkan. Bahkan ada yang berkata, walau sudah dipilah, toh, akan dicampurkan kembali oleh pemulung. Ada 2,7 persen responden yang menganggap pemisahan sampah organik dan anorganik adalah urusan pengumpul (tukang) sampah.

Kedua jawaban ini boleh jadi cerminan ketiadaan waktu atau mungkin kemalasan mengurus sampah sendiri. Di samping itu, ada (20,5 persen) responden yang mengaku belum tahu cara pemilahan sampah itu, 2,7 persen lagi mengatakan belum ada penyuluhan.

Hanya sebagian kecil (26,8 persen) responden ini yang menyatakan sudah memisahkan sampah organik dan anorganik. Namun, hanya 15,6 persen responden yang menyatakan pemilahan dilakukan atas inisiatif pribadi. Responden lain (6,6 persen) melakukannya karena adanya kewajiban dari lingkungan. Juga ada responden yang menyatakan pemisahan dilakukan agar tempat sampah tidak berbau, sampah bisa dijadikan pupuk, dan ada pula mengatakan pemilahan itu dilakukan anaknya yang menerapkan ajaran di sekolah. Kecilnya persentase warga yang telah memilah sampah tampaknya mengisyaratkan masih terbatasnya kesadaran masyarakat tentang manfaat pemilahan itu.

Pemilahan sampah organik dan anorganik yang termasuk dalam konsep 3R-reduce (mengurangi penggunaan barang yang menghasilkan sampah), reuse (menggunakan kembali barang yang biasa dibuang), dan recycle (mendaur ulang) agaknya masih pada taraf wacana. Konsep 3R, metode pengelolaan sampah yang bertujuan untuk memelihara lingkungan dan dapat diterapkan dengan beragam cara belum ada dalam budaya sampah rumah tangga penduduk Ibu Kota.

Di Jakarta belum terlihat adanya kesadaran reduce, misalnya, mengurangi penggunaan tas atau kantong plastik untuk barang belanjaan. Jika kesadaran ini ada, ia dapat meminimalkan timbunan plastik buangan, yang membutuhkan waktu 300 tahun hingga 500 tahun untuk dapat terurai dengan sempurna.

Plastik hampir tak dapat ditiadakan dalam kehidupan sehari-hari dewasa ini, termasuk aktivitas berbelanja. Ikan hias yang dibeli, misalnya, mengikutkan kantong plastik. Obat dari apotek juga demikian. Toge, kentang, ubi jalar, jeruk, dan entah apa lagi di pasar swalayan dikemas dalam kantong plastik. Bahkan nagasari yang dulu begitu sedap karena aroma daun pisang pembungkusnya, kini berbajukan plastik. Begitu semuanya dikonsumsi, plastik segera berubah menjadi sampah.

Untuk kebutuhan sehari-hari, 51,2 persen responden jajak pendapat ini berbelanja ke pasar tradisional, 27,7 persen ke supermarket, 18,6 persen di pedagang sayur keliling. Namun, ke mana pun mereka berbelanja, pulangnya hampir pasti bersama kantong plastik. Sebagian besar (78,1 persen) responden ini mengandalkan kantong plastik itu sebagai wadah karena mereka tidak membawa tas belanja.

Sebetulnya tidak ada orang yang bebas dari status sebagai produsen sampah. Setiap individu diperkirakan menghasilkan 1-2 kilogram sampah dalam sehari. Catatan Dinas Kebersihan DKI Jakarta pada Juli 2007 menunjukkan bahwa timbulan sampah per hari mencapai 26.945 meter kubik. Jumlah sampah yang setara dengan 6.736 ton itu bukanlah perkara kecil. Hanya sekitar 6.000 ton yang tertanggulangi. Sisanya tersebar di sembarang tempat, di jalan, di kali, di mana saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun