Kerkof Peucut terletak di tengah kota Banda Aceh dengan ukuran luas makam 3,5 Ha dan saat ini menjadi salah satu objek wisata yang menarik wisatawan mancanegara, terutama wisatawan dari Belanda.
Sebelumnya, keluarga Bolchover adalah pemilik tanah dengan usaha perumahan, dan lain-lain di atasnya. Lalu, tahun 1880 Pemerintah Hindia Belanda mengambil alih tanah tersebut sebagai tempat kuburan massal Belanda dan memberi nama kerkof (Sudirman, dikutip dari Tjoetje, 2017).
Selain tentara Belanda, tentara KNIL dari suku Jawa, Batak, dan Ambon juga dimakamkan di Kerkof Peucut (sumber: Wikipedia).
Gerbang adalah salah satu bagian peninggalan bersejarah yang ada di lokasi Kerkof Peucut yang dibangun pada 1893. Di atas pintu gerbang tersebut bertuliskan "Aan Onze Kameraden, Gevallen op het van eer" (Untuk Sahabat Kita yang Gugur di Medan Perang). Teks lain dibuat dalam bahasa Arab, Melayu, dan huruf Jawa.Â
Dindingnya terbuat dari marmer dengan bertuliskan nama-nama orang yang dimakamkan beserta tempat dan tahun meninggalnya. Semuanya berjumlah 2.200 nama.
Peperangan Rakyat Aceh Melawan Belanda
Perang perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda tak terlepas dari ideologi Islam yang merupakan cerminan masyarakat Aceh yang Islami. Ideologi perang sabil menjadi ideologi penyemangat rakyat Aceh dalam melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda.
Peperangan melawan penjajah kafir dipahami sebagai jihad fisabilillah (berjuang di jalan Allah), berarti bahwa rakyat Aceh yang mati melawan penjajah Belanda dianggap sebagai mati syahid. Ideologi inilah yang membakar semangat rakyat Aceh sehingga berani melawan penjajah Belanda di tanah Aceh.
Peperangan rakyat Aceh melawan tentara Belanda terjadi hampir di seluruh wilayah Aceh. Berikut beberapa peperangan di wilayah Aceh yang dikutip hasil penelitian Sudirman (2017), yakni:Â
- peperangan di Banda Aceh tahun 1873 dan 1874
- pertempuran di Kampung Lambhuk, 1873 dan 1874
- pertempuran di Lueng Bata, 1874
- pertempuran Aroen, 1875
- pertempuran Olehkarang-Pango di Kampung Ulekareng dan Pango,1876
- pertempuran Lambaro, 1876
- pertempuran Lampagger, 1876
- pertempuran Kajoeleh, 1876-1877
- pertempuran Simpang Ulim dan Samalanga,1822, 1878, 1878, dan pertempuran Samalanga,1877, 1880, dan 1882Â
- pertempuran Tjot Rang-Pajaoe pada 1882 dan Lepong Ara, 1883 dan 1884Â
- pertempuran Gedong dan Sigli, 1878
- pertempuran di wilayah XXII dan XXVI Moekims, 1878 dan 1879
- pertempuran Tjot Basetoel, 1883 dan 1884, serta Krueng Kale,1883Â
- pertempuran Lambari dan Tenom, 1884
- pertempuran Rigaih, 1886
- pertempuran di Kandang, 1891
- pertempuran Kota Toeankoe, 1889
- pertempuran Edi, 1889 dan 1890
- pertempuran Lambesoi, 1884 dan pertempuran Koewala, 1887
- pertempuran Podiamat, Banda Aceh, 1889
- pertempuran Kampung Kunyet, 1899
- pertempuran dalam daerah Atjeh en Onderhoorigheden, 1910
- pertempuran dalam wilayah Zuidel-Atjehsche Landschappen, 1925-1927
Peninggalan Kolonial Lainnya