Dalam melakukan perjanjian perkawinan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni:
- perjanjian dibuat secara tertulis dan disahkan pegawai pencatat perkawinan atau notaris;
- tidak bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma susila;
- dapat dirubah bila disepakati kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga;
- dapat dicabut atas persetujuan suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan dan pendaftaran tersebut diumumkan oleh suami isteri.
Adapun manfaat perjanjian perkawinan, diantaranya:
- adanya perlindungan hukum terhadap harta yang dimiliki suami-isteri, termasuk harta bawaan atau harta bersama;
- sebagai pedoman terkait hak dan kewajiban masing-masing suami isteri --sepanjang diatur dalam perjanjian perkawinan--dan tidak bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan;
- melindungi anggota keluarga dari ancaman KDRT;Â
- dan sebagainya.
Terkait persyaratan dan tata cara pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan selengkapnya dapat dilihat pada surat Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No.:B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017 (dapat didownload disini).Â
Dengan demikian, terkait perjanjian perkawinan dikenal dan diakui (dibolehkan) dalam hukum positif dan hukum Islam.
Sementara itu, ada istilah lain yang berkaitan dengan perjanjian atau kontrak dalam perkawinan yang sering dikenal dengan istilah kawin kontrak.Â
Secara umum, kawin kontrak dipahami sebagai perkawinan yang dilakukan dengan perjanjian batas waktu tertentu, misalnya sehari, seminggu, sebulan atau setahun. Bila batas waktu telah berakhir, maka status perkawinan tersebut berakhir atau dapat diperbarui kontraknya dengan persetujuan kedua belah pihak.
Dalam Islam kawin kontrak dikenal dengan istilah kawin mut'ah.Â
Fenomena kawin kontrak atau kawin mut'ah masih dianggap tabu oleh masyarakat bahkan terjadi penolakan karena dianggap sebagai prostitusi yang terselubung.Â
Penolakan didasarkan karena kawin kontrak tidak memenuhi persyaratan perkawinan dan bertentangan dengan tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam UU perkawinan maupun dalam Islam.
Dalam UU Perkawinan ada 2 unsur utama perkawinan, yakni: pertama, adanya ikatan lahir dan bathin antara suami isteri, dan kedua, bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan YME.
Pelaksanaan kawin kontrak tidak bertujuan untuk adanya ikatan bathin dan tidak dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan YME. Karena kawin kontrak ditengarai hanya untuk kesenangan dan memuaskan hawa nafsu semata.