Perang saudara terjadi akibat perbedaan ideologi antara Partai Komunis Tiongkok (PKT) dibawah pimpinan Mao Zedong dengan Partai Nasionalis Kuomintang (KTM) dibawah pimpinan Chiang Kai-Shek mulai pada tahun 1927 hingga 1950.
Konflik ini pada akhirnya menghasilkan dua negara de facto, Republik Tiongkok di Taiwan dan Republik Rakyat Tiongkok di Tiongkok Daratan (China). Masing-masing mengklaim sebagai pemerintahan resmi sebagai Pemerintahan Tiongkok yang sah.
Namun, kedua negara ini pernah bersatu dan membentuk "Front Persatuan Kedua" demi untuk melawan invasi Jepang. Mencegah Jepang agar tidak memperluas invasi yang sudah masuk sebelumnya di Manchuria pada tahun 1931.
Lama setelah itu, tahun 1949, perang saudara kembali terjadi dan memuncak dengan skala penuh. Hubungan keduanya terhalang oleh ancaman militer, tekanan politik dan ekonomi. Terutama terkait status "Politik Taiwan".Â
Namun kedua pemerintahan secara resmi mendukung "kebijakan satu Tiongkok" atau "kebijakan satu China".
Lalu, apa dampaknya bagi Indonesia?
Ketegangan yang meningkat antara China dan Taiwan menempat posisi Indonesia "bak simalakama", berada pada posisi sulit. Tak terlepas dari upaya konstruktif Indonesia pada poros global menjalin kerjasama untuk bangkit dari keterpurukan krisis pangan dan ekonomi global.
Bila dikaitkan dengan kunjunganPresiden Jokowi untuk menjalin kerjasama strategis dengan 3 negara Asia Timur, yakni China, Jepang dan Korea Selatan pada 25-29 Juli lalu, merupakan upaya meningkatkan hubungan harmonis antar negara.
Sebagaimana dilansir dari Kompas.com, dalam lawatannya ke China, Jokowi bertemu Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang guna membahas upaya peningkatan kerjasama ekonomi kedua negara serta bertukar pandangan tentang hubungan bilateral dan beberapa isu utama di kawasan regional dan internasional.Â
China adalah penanam modal asing terbesar di Indonesia berada pada posisis ke-2 setelah Singapura.