Ruang publik merupakan ruang yang berfungsi untuk tempat menampung aktifitas masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok, dimana bentuk ruang publik ini sangat tergantung pada pola dan susunan massa bangunan (Rustam Hakim, 1987).
Secara ideal, ruang publik harus memiliki tiga kondisi, responsif, demokratis, dan bermakna.Â
Responsif diartikan bahwa ruang publik adalah ruang yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas.Â
Demokratis artinya adalah ruang publik dapat digunakan oleh masyarakat umum tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi serta budaya. Serta, dapat diakses dari berbagai kondisi fisik manusia.
Bermakna maksudnya adalah ruang publik mempunyai keistimewaan tersendiri sehingga orang mau datang karena daya tarik tempat itu.
Karena peruntukannya adalah bagi publik, maka ada ketentuan tersendiri yang harus diindahkan di ruang publik. Ada etika yang menjadi ruang toleransi antar personal yang ada di ruang publik.
Etika ruang publik adalah sebuah norma sosial yang dijadikan ukuran tentang pantas atau tidak pantas dilakukan saat berada di ruang publik.
Norma ini secara sadar harus diindahkan agar terciptanya kenyamanan dan ketertiban di ruang publik.
Sebagai contoh, di ruang publik sering kali ditemukan adanya pemisahan ruangan bagi perokok. Ruangan ber-AC yang steril dari asap rokok tidak diperbolehkan menghisap rokok atau mengeluarkan asap rokok di area tersebut. Bagi mereka yang tidak mengindahkan akan ada reaksi sosial dari orang yang berada di dalam area tersebut.Â
Budaya antri, misalnya. Dalam banyak momen kita bisa melihat bahwa budaya antri dilakukan bukan karena adanya aturan khusus yang dibuat saat berada di ruang publik. Tapi, lebih kepada norma sosial yang dengan sendirinya tercipta dari kondisi sosial yang terjadi pada tempat tertentu.