Mohon tunggu...
Julianda Boangmanalu
Julianda Boangmanalu Mohon Tunggu... Lainnya - ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis untuk memahami dan suka pada literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

My Mother Is a Wonder Woman

16 November 2020   15:47 Diperbarui: 16 November 2020   16:14 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sosok yang paling inspiratif dalam sejarah panjang kehidupanku adalah Ibundaku tersayang yang telah melahirkan dan membesarkanku. Begitu banyak memoar yang tak akan bisa untuk ditorehkan dalam lembaran-lembaran kertas.  Tinta pena tidak akan pernah cukup untuk menguraikan kisah yang pernah Ia torehkan dalam perjalanan hidupku.

Masih teringat cerita Bapak tentang perjuangannya untuk bisa menikahi Ibu. Bapak dengan modal tekad dan rasa cintanya yang mendalam, memberanikan diri melamar Ibu. Tanpa ada materi apalagi singgasana yang dijanjikan Bapak pada Ibu bak cerita serial drama percintaan di televisi.

Melihat kesungguhan Bapak, membuat Ibu juga sangat mencintai Bapak dengan apa adanya. Sangking cintanya, Ibu rela memberikan cincin emas belah rotan seberat satu mayam kepada Bapak sebagai uang mahar pernikahan mereka.

Nenek (Ibunya Ibu) sempat keberatan atas lamaran Bapak karena Bapak bukan orang kaya atau paling tidak orang yang punya harta yang bisa dibanggakan. Wajar saja, karena Nenek juga tidak mau kelak putrinya (Ibu) menderita bersama Bapak dalam mengarungi biduk rumah tangga.

Karena kesungguhan mereka berdua dan didorong oleh besarnya rasa cinta, akhirnya perkawinan mereka berlangsung dengan sangat sederhana. Hanya mengundang saudara dekat dan beberapa tetangga saja dengan acara syukuran yang seadanya.

Biduk rumah tangga pun dilalui bersama. Lebih banyak cerita susah yang mereka lewati bersama ketimbang cerita bahagia. Getirnya perjuangan hidup yang mereka lalui. Hidup serba kekurangan bahkan untuk makan saja susah diperoleh terkadang harus rela menahan lapar.

Makan nasi pakai ikan asin sekali sehari saja sudah sangat disyukuri. Sering sekali harus makan singkong yang ditanam Ibu dibelakang pekarangan rumah. Namun semua dilewati dengan lapang dada. Ibu tidak pernah mengeluh kepada bapak karena keterbatasan ekonomi yang dihadapi.

Pernah suatu saat, Bapak menderita sakit pada Lambung yang sudah sangat parah. Selama setahun Bapak hanya bisa berbaring dengan kondisi badan yang sangat kurus, sedangkan Ibu harus mencari nafkah untuk biaya hidup dan beli obat-obatan untuk Bapak serta menafkahi kami empat orang anaknya. Saat itu, aku adalah anak yang paling kecil baru berusia tiga tahun.

Kondisi ini tidak membuat ibu menyerah, karena Ia harus menjadi Ibu Rumah Tangga sekaligus sebagai Kepala Keluarga yang menggantikan tanggungjawab Bapak untuk mencari nafkah.

Ibu menjadi buruh harian di kebun tetangga yang membutuhkan pekerja. Terkadang ia juga menjadi buruh deres di kebun karet milik toke getah. Semua pekerjaan Ia lakukan tanpa pandang bulu, yang penting bisa menghasilkan rupiah untuk kami anaknya.

Tanggungjawab dan beban yang semakin berat harus dipikul sendiri oleh Ibu. Tidak ada saudara yang dapat dijadikan tempat mengadu untuk meringankan sedikit saja beban hidup keluarga kami. Kondisi ekonomi yang terpuruk membuat kerabat seakan menjauh dan tidak perduli dengan keadaan kami. Tidak ada yang bisa diharap dari pertolongan orang lain. Semua harus dilakukan Ibu sendirian.

Terkadang sewaktu Bapak dalam kondisi sangat parah dan harus segera dibawa berobat ke Pak Mantri, jangankan rumah sakit, Puskesmas saja waktu itu tidak ada, Ibu harus berusaha mencoba meminjam uang ke Saudara, ke tetangga ataupun kepada siapa saja yang mungkin berbaik hati untuk membantu. Namun, lagi-lagi Ibu harus berlapang dada karena tak satupun yang mau membantu. Padahal, kondisi Bapak sungguh sangat parah sekali. Sehingga Ibu panik, tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi. Ia hanya bisa pasrah dan meminta pertolongan Allah sang Maha Kaya.

Menjelang waktu Zuhur tiba, Ibu bergegas akan pergi ke Kamar Mandi umum yang berjarak sekitar 200 meter dari rumah untuk membersihkan diri dan sembari membawa air bersih untuk kebutuhan masak. Saat itu, ketersediaan air memang sangat sulit karena kemarau panjang.

Menuju pulang ke rumah, di tengah perjalanan tiba-tiba saja Ibu menemukan sebuah anting emas sekitar 1 gram. Awalnya Ia tidak menyangka bahwa itu adalah emas, tapi karena penasaran Ibu mengambilnya dan memastikannya, ternyata memang emas.

Hati Ibu berkecamuk antara senang dan cemas. Senang karena dengan menjualnya bisa saja membantu membiayai pengobatan Bapak. Cemas karena Ibu masih ragu, bila saja orang yang kehilangan anting tersebut masih mencari-carinya.

Lama Ibu menimang-nimangkannya. Sembari melangkah pulang, batin Ibu bergejolak. Apa yang harus Ia lakukan. Apakah menjualnya atau menunggu sampai ada orang yang barangkali mencari dan menanyakan padanya. Akhirnya, Ibu menunggu sampai tiga hari. "Bila tidak ada orang yang mencari dalam tiga hari ini, maka ia akan menjualnya", begitu suara hati Ibu.

Tiga hari berlalu, tidak ada yang mencari dan menanyakannya, akhirnya Ibu menjualnya dan uang hasil penjualan tersebut digunakan untuk biaya pengobatan Bapak. Ibu masih bingung saat itu, apakah halal ataukah tidak uang hasil penjualan anting tersebut.

****
Setelah sembuh, Bapak mulai mencari cara untuk bisa menghasilkan uang demi memenuhi kebutuhan keluarga. Bapak mencoba menjadi tengkulak dengan modal yang dipinjam dari rentenir. Terpaksa Ia lakukan karena mengharap untung dari penjualan Cabe Rawit dan Biji Kopi. Walau sedikit namun Bapak tetap optimis bisa mengumpulkan sedikit rupiah untuk membeli kebutuhan rumah tangga.

Ibu juga tidak tinggal diam, Ia mulai menanam padi darat dari tanah yang ia pinjam dari pemiliknya yang sudah lama telantar. Untung saja pemilik tanah tidak memungut sewa atas tanah tersebut, mungkin Ia berpikir bahwa dengan dipinjamkannya tanah tersebut ke Ibu tentu saja tanah miliknya akan bersih dan tidak menjadi semak belukar.

Ibu bekerja sendiri, hanya pada saat pembukaan lahan itu saja dibantu oleh Bapak karena cukup berat dilakukan sendiri. Mulai dari menanam, merawat, sampai memanen Ibu sendiri yang bekerja, kami hanya bisa membantu saat sekolah lagi libur. Sedangkan Bapak juga sibuk dengan usahanya sendiri. Ibu tidak pernah mengeluh dengan pekerjaan yang Ia lakoni saat ini. Wajah semangat yang selalu Ia tampakkan pada kami anak-anaknya.

Bertahun-tahun kondisi ini dilalui, sampai akhirnya aku menamatkan pendidikan SMA dan akan melanjutkan kuliah. Awalnya, aku ragu untuk kuliah dengan keterbatasan kondisi perekonomian keluarga kami. Namun, tekadku untuk bisa merubah nasib agar aku setidaknya bisa meningkat sedikit dibandingkan keadaan keluarga kami saat ini. Kami yang sudah 7 bersaudara, hanya aku yang bisa kuliah. Sedangkan kakak-kakak ku tidak mau untuk kuliah dengan alasa keterbatasan biaya tentunya. Ketiga adikku juga masih kecik-kecil dan masih duduk di bangku Sekolah SMA, SMP, dan SD.

Perjuangan Ibu untuk bisa menabung dan membantu biaya kuliahku juga sangat berat. Metode bertanam padi darat yang Ia lakoni selama ini masih menggunakan sistem berpindah-pindah, dari satu pemilik lahan ke pemilik lahan lainnya. Karena selama ini semua lahan yang diusahakan dari hasil meminjam dari pemilik lahan yang berbaik hati mau membantu kami.

Bapak dan Ibu yang berbeda profesi saling membantu mencari nafkah. Uang hasil kerja Bapak digunakan untuk membeli kebutuhan makan sehari-hari, sedangkan hasil Ibu menanam padi biasanya untuk menghasilkan beras stok pangan kami terkadang bertahan hingga 3 sampai 4 bulan lamanya. 

Di sela-sela kesibukannya, Ibu tak lupa selalu mendidik kami, terutama aku, agar giat bekerja dan belajar hingga bisa lulus kuliah. Mengikuti semangat ibu, aku juga sering harus bekerja sebagai buruh bangunan disela-sela waktu libur kuliah untuk membantu meringankan beban Bapak dan Ibu. Aku selalu optimis dan semangat menjalani perkuliahanku. Aku selalu meneladani sifat keuletan Ibu dalam bekerja dan membantu Bapak untuk menafkahi kami anak-anaknya. Ibu yang mengajarkan kesederhanaan dan keuletan dalam menjalani hidup. Banyak pelajaran yang aku peroleh dari Ibu. Pun, juga Bapak.

Bertahun-tahun Ibu selalu bekerja keras tak mengenal lelah. Sampai tiba masanya saat aku Wisuda menamatkan kuliahku. Waktu itu aku butuh biaya membayar wisuda dan uang tetek-bengek lainnya.

Rupanya, jauh hari sebelumnya, diam-diam Ibu sudah menabung dari hasil panen cabai yang Ia tanam sendiri. Uang tabungannya sudah cukup bisa membantu membayar biaya wisuda sisanya dibantu uang Bapak.

*****
Setahun sebelum Ibu meninggal, Ia terkena stroke akibat penyakit darah tinggi yang ia derita. Ia sempat terjatuh di kamar mandi yang membuatnya tidak bisa menggerakkan kaki dan tangannya. Sudah banyak tempat kami mencoba membawa Ibu berobat. Mulai dari pengobatan medis dan pengobatan tradisional. Tidak sedikit biaya yang dikeluarkan oleh Bapak dan kami anak-anaknya membantu biaya pengobatan Ibu dan merawatnya secara bergiliran.

Dalam kondisi yang sakit berat, Ibu tampak tegar dan sabar menghadapi sakit yang menderanya. Setahun terakhir kehidupan Ibu adalah masa-masa yang berat bagi kami sekeluarga menjalaninya. Ibu yang sudah tidak bisa berucap lagi dan hanya terbaring kaku, selalu kami rawat dengan lemah lembut. Kami anak-anaknya membagi waktu dan bergiliran merawatnya.

Setiap kali aku memandikannya, Ia selalu meneteskan air mata sebagai bentuk komunikasinya denganku. Kubasuh muka Ibu dengan handuk lembut yang sudah dibasahi dengan air hangat. Kusiram seluruh tubuhnya secara perlahan layaknya seperti seorang bayi. 

Aku teringat semua jasa dan pengorbanan Ibu yang pernah diberikannya padaku. Mulai dari Ia yang mengandungku selama lebih Sembilan bulan lamanya dengan rasa cinta dan kasih sayang. Ia yang melahirkanku ke dunia ini dengan bertaruh nyawa tanpa pamrih. Ia yang menyusui, merawat, membesarkan dan mendidikku tentang cara untuk bisa aku menjadi manusia seutuhnya. Ibu yang mengajarkanku bisa bangkit dari keterpurukan. Ibu yang mengobati setiap rasa sakit yang aku rasakan sejak kecil.

Kubersihkan setiap lekuk tubuhnya agar bersih dari keringat dan daki yang menempel di kulitnya. Setelah mandi, kuusap tubuh kaku Ibu dengan handuk lembut dan bersih. Kuusapkan minyak angin dibagian punggung, dada dan perutnya. 

Kupakaikan ia baju yang tipis agar ia tidak merasa gerah bila berbaring ditempat tidurnya. Kupotong seluruh kuku jari tangan dan kaki yang sudah memanjang. Sesekali kulihat tatapan matanya memandangku dan kutatap dalam-dalam tatapan mata itu seolah banyak yang ingin disampaikannya padaku. Setelah selesai, kucium kening Ibu dengan hangat.

Bagiku, inilah waktu yang tepat untuk memberikan kasih sayang sepenuhnya pada Ibu. Diwaktu menjelang ajalnya, aku rawat ia sepenuh hati, walau aku sadari bahwa apa yang telah aku lakukan selama ini belum sebanding dengan apa yang telah Ibu berikan padaku sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun