Pada era modern ini, manusia dalam melakukan aktivitasnya selalu mempertimbangkan hal-hal yang simpel dan gampang untuk dilakukan dan menghindari hal-hal yang dapat memberatkan dan menyulitkan. Itu juga alasan utama kenapa kita selalu gandrung terhadap kemajuan teknologi saat ini.
Teknologi diciptakan untuk memudahkan kita untuk memperolah akses atau melakukan sesuatu hal untuk memenuhi kebutuhan kita. Mulai dari kebutuhan pokok yang berkaitan dengan sandang dan pangan.
Dalam memenuhi kebutuhan pangan di keluarga, selalu menggunakan peralatan yang canggih dan terkini termasuk urusan masak memasak bagi Ibu Rumah Tangga.Â
Untuk urusan masak, kini terjadi peralihan peralatan masak dari dahulu secara tradisional primitif menuju ke modern. Mulai dari penggunaan kayu bakar, penggunaan kompor sumbu menggunakan minyak tanah, penggunaan kompor gas, dan saat ini menuju ke kompor listrik.
Terjadinya peralihan tersebut selain dilatarbelakangi alasan kemudahan tetapi juga karena keterbatasan bahan baku, lebih mudah diperoleh serta alasan lebih ekonomis.
Penggunaan kompor listrik belakangan ini semakin marak penggunaannya. Bahkan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, sedang mempromosikan konversi dari gas elpiji ke kompor listrik di beberapa daerah. Langkah ini diambil karena alasan efektivitas dan lebih ramah lingkungan.
Namun yang menjadi sasaran utama program pemerintah tersebut adalah pengguna listrik 450 - 900 VA atau golongan masyarakat miskin. Karena konversi elpiji 3 KG ke kompor listrik (induksi) tersebut bertujuan untuk mengurangi impor liquefied petroleum gas (LPG) yang selama ini mendapat subsidi dari pemerintah.
Namun, kebijakan tersebut mendapat reaksi yang beragam dari masyarakat, terjadi pro dan kontra. Yang setuju beralasan karena setuju dengan alasan pemerintah. Sedangkan yang kontra terhadap kebijakan tersebut karena alasan akan memberatkan bagi kenaikan biaya listrik dan rawan akan terjadinya pemadaman listrik.
Agenda terselubung pemerintahÂ
Seiring dengan itu, bila dikutip dari KOMPAS.com, Rabu (14/9/2022) bahwa pemerintah secara blak-blakan mengakui bahwa PLN mengalami kerugian akibat kelebihan pasokan (oversupply) yang diakibatkan banyaknya pembangunan pembangkit listrik.Â