Mohon tunggu...
Sian Hwa
Sian Hwa Mohon Tunggu... lainnya -

Doyan nyampah di dumay. Wajib bikin novel yang keren badai. Penggila film dan buku. Bipolar dan insocially competent.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suatu Pagi di Musim Gugur (1)

24 Januari 2015   07:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:28 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Aku sekalian ke pasar dekat Sam Can Tang, kamu mau titip apa?”

“Pulsa CTM, ya? Yang limapuluh saja.”

Aku mengiyakan, dan menutup pintu keluar. Di depat lift gedung, aku berpapasan dengan perempuan muda berkulit coklat dan bermata besar yang belum pernah kulihat. Ia menatapku sebentar dan tersenyum. Aku membalas senyumannya. “Indo?” tanyaku.

Ia menggeleng. “Pinoy. Philiphine.” Filipina.

Rupanya, flat sebelah itu ditempatinya beramai-ramai, mungkin sekitar sembilan atau sepuluh orang. Yang tidur di kamar jauh lebih mahal biaya sewanya dibanding yang tidur di ruang tamu, dalam bunk bed kayu dari Lap Sap Kai—pasar loak, yang sering banyak ketinggi alias kutu busuk.

“Berisik dan kutu-kutu ketinggi itu pasti lari kemari,” protes Eri kalau ia mendapati tetangganya ternyata boarding house.

Eri tahu kalau tiga tahun lalu saat baru tiba, aku juga sempat tinggal beramai-ramai. Biasanya satu boarding house dikelola oleh agen penyalur tenaga kerja khusus kung yan, istilah Kanton untuk domestic helper, atau dikelola teman-teman yang lebih mapan dan berduit. Saking ramainya, terkadang malah jadi tidak manusiawi. Kebanyakan isinya juga calon tenaga kerja wanita di Hong Kong yang sedang menunggu visa selama dua bulan proses.

Para Cece—ibu asrama yang dipercayakan selalu takut penunggu visanya kepincut enak kerja di Macau dan menolak kembali ke Hong Kong, akhirnya menerapkan aturan jam keluar-masuk yang terbatas atau menahan paspor. Bagi yang overstay, membandel dan memiliki tanggungan utang potongan gaji dengan agen malah tidak boleh keluar.

Beberapa temanku sudah kena batunya karena bebas bergaul di luar: uangnya habis di mesin slot kasino-kasino, pacaran dengan lelaki Nepal lalu diporoti atau kepincut dengan bojo—istri baru bagi yang TB (tomboi), sampai petak umpet dengan pakde polisi.

Lift terbuka. Aku berpisah dengannya di ujung jalan. Ate itu masuk ke dalam supermarket Vang Kei, dan aku menyebrang menyusuri sepanjang avenida yang rimbun dengan pepohonan, menuju bundaran dekat jalan utama yang sering disebut Sam Can Tang, tempat berkumpul kung yan dari berbagai negara dan juga para manula berkursi roda yang dibawa jalan-jalan untuk berjemur. Macau-Ou Mun pulau kecil, jalan-jalan di sini tidak sebesar dan sepadat Jakarta, bahkan tidak selebar jalan-jalan di Taipa atau Cotai, pusat banyak kasino dan hotel.

Di samping bundaran ada jalan sempit membelah toko dan stan pedagang kaki lima yang ramai dipenuhi penjual SIM card telpon serta pulsa isi ulang sambil bergosip keras-keras. Mereka kebanyakan wanita Vietnam, yang postur dan kulitnya tidak bisa dibedakan dengan warga setempat, kecuali saat mereka bicara. Aku membeli pesanan Aldo, dan berbaur di antara orang-orang yang masuk ke area pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun