Digeretnya kursi depan komputer, Dayat menghepaskan tubuhnya sambil menghela nafas dalam-dalam. Sambil menikmati kepulan asap rokok seraya memejamkan matanya sesaat. Sekujur tubuhnya berkeringat. Sensasi barusan yang dialami membuat nafas itu memburu cepat. Jantung dan lelehan darah dalam tubuh seakan berlomba.
Dibukanya mata itu, memandangi langit-langit dalam ruangan kantor yang menjadi basis penghasilannya selama ini. Ada rasa penasaran akan kenyataan, bahwa Helga si bocah perempuan yang tadi menemuinya, berusaha membujuk dirinya untuk ikut bermain boneka. Tarikan jemari Helga begitu kaku dan dingin. Dayat tadinya hampir terbujuk namun ia ingat, bahwa malam ini dikejar deadline dan atasannya sudah mengultimatum, artikel harus sudah terbit besok pagi.
“Adek main sendiri dulu ya, om masih banyak kerjaan..” Seketika wajah bocah perempuan yang ada dihadapannya, menunduk sedih. Tiba-tiba ia menangis. “Ayo om, temenin Helga. Mama helga sudah tidak mau nemenin, mama Helga jahat!”.. Teriaknya. Kaget dengan ucapan bocah ini, lantas Torik berupaya menenangkannya. Dibujuknya Helga untuk tidak menangis histeris. Diusapnya rambut Helga yang terurai panjang. “Memang mama Helga kemana? Kok berani malam-malam sendiri kesini. Ga takutkah, dek?”.. Namun bocah itu tiba-tiba berlari ke sudut ruangan. Seolah ingin menunjukkan sesuatu. Lantas Dayat menghampirinya.
“Ini om, disini terakhir mama pergi ninggalin Helga” (sambil menunjuk lantai keramik dibawah tangga). Dayat belum paham apa maksud bocah itu. “Kok om nggak lihat tadi adek ada disini?”.. “Iya, om pasti nggak akan bisa lihat, soalnya aku kan keluar dari bawah lantai ini. Mama sengaja meninggalkan Helga, mama kejam om. Tolong cariin mama Helga ya om..”
Blasssst, seketika sosok bocah itu menghilang. Bola mata Dayat tidak sanggup mengedipkan mata, tubuhnya kaku dengan mulut menganga, tiba-tiba pandangannya mulai gelap.
**********
Masih bergelut dengan tuts keyboard. Dayat hari itu berhasil menyelesaikan satu artikelnya tentang lingkungan. Pagi-pagi sekali ia bergegas menuju kantor, ia tahu jalanan Jakarta pasti macet. Segelas kopi dan sepotong kue pastel jumbo sisa semalam, diciumnya “ah, layak makan” sambil nyengir ia menyadari kelakuannya sendiri. Diliriknya jam bentuk segitiga yang bertengger diatas meja. Pukul 06 pagi, oke saatnya cabut!.
Ditengah perjalanan, kembali ia teringat cerita istrinya, dan merasakan ada hubungan dari kejadian yang dialaminya juga. Seakan semua tersambung jelas, namun tidak paham ada apa sebenarnya. Mungkinkah ia sengaja ditunjuk untuk memecahkan misteri itu, atau hanya faktor kebetulan semata. Tapi, bisa saja bocah gadis yang bernama Helga itu beribukan wanita yang dihadir dalam wujud tak berbentuk yang diceritakan istrinya. Atau bisa juga si Ibu ini meninggal bunuh diri karena menanggung malu akibat punya anak diluar nikah dan menguburnya di sebuah rumah. Lantas rumah yang jadi kantornya itu dulunya punya siapa..? Pikiran Dayat mulai meluas, seolah-olah ia mendapat tantangan baru. Memecahkan misteri dari dua kejadian.