"Mana yang sakit pak?.." Orin meminta bos Rudy menunjukkan posisi rasa sakit yang menderanya. Dengan terbata-bata bos Rudy menjawab pertanyaan Orin "sebelah sini.." sambil menekan perut dengan telapak tangan kirinya. Dipegangnya perut bos Rudy yang dirasakan Orin memang mengeras. "Coba, bapak tarik napas. Pelan-pelan hembuskan, ya?.." Orin memberi aba-aba. Setahunya, kram perut memang timbul dari stress, dan perut kosong.
Bos Rudy pun mengikuti apa yang Orin perintahkan. Hanya hitungan beberapa menit, bos Rudy merasakan kram diperutnya mulai melemas. Ia sedikit mulai bisa tersenyum. "Terima kasih Rin..! Perutku sudah mulai enakan" Sambil menyunggingkan bibirnya dan memperbaiki posisi duduk. Bos Rudy seakan mendapat angin segar. Entahlah, tiba-tiba saja tubuh yang tadinya kesakitan. Kini berubah hangat dan tenang.
"Hmm.., pasti bapak belum sarapan, ya?.." Orin berusaha mencairkan suasana yang mulai menenang. "Ya, Rin.., tadi pagi saya terburu-buru. Ada janji sama teman di airport." Dan merekapun terlibat perbincangan yang cukup akrab. Tanda disadari jam sudah menunjukkan pukul 12:20. Tiba-tiba ruangan itu jadi hening. Hanya terdengar suara detak jam yang menempel didinding.
****
Dalam benak Orin, tadinya sosok Rudy  begitu susah untuk ditaklukkan. Raut wajah Rudy sedikit mirip aktor Willy Dozan. Hanya saja tubuhnya lebih tinggi dan kumis yang tipis. Orin mulai merasakan hatinya kini berkalung getar-getar asmara. Semenjak kejadian di kantor itu. Dalam ruangan Rudy. Hasrat mereka berdua menyatu. Tersenyum bahagia dan puas. Dan sepertinya Rudy pun merasakan hal yang sama. Menikmati waktu terlarang.
Bolak-balik Orin mematut dirinya. Depan cermin pintu lemari baju. Malam ini ia ada janji bertemu sahabatnya di sebuah cafe kopi. Tempat biasa mereka kongkow. Tak sabar Orin ingin menceritakan kejadian tadi siang pada sahabatnya ini. Tapi dalam hati ia berkata "hmm, sebaiknya kusimpan dulu kisah ini. Laras nggak usah tahu tahu dulu, ah takutnya dia malah kepo. Dan itu pasti..!" Orin tersenyum kecil.
"Hey, cyinn. Sori kayaknya kita ga jadi ketemuan nih! Mendadak suamiku minta ditemenin. Ada undangan kawinan temennya. Nggak apa-apa, kaan..?!" Orin membaca massage bbm, yang tergeletak diatas kasur. "Yaah, lo gimana sih! Gue udah dandan abis-abisan nih. Kenapa nggak dari tadi ngasih taunya!.." Â Orin terlihat sedikit sewot, wajahnya sedikit muram. "Laah, elo emang kemana tadi? Gue bbm jam berapa? Coba di lihat dong jam berapa?.." Dilihatnya massage itu. Jam 18:15. "Hehehe.. Sori, aku tadi kelamaan dandan.. Ok, deh. Untuk malam ini elo gue maafin. Tapi nanti elo yang traktir gue, ya..!?". "Capcus cyiin, gampang itu!" Laras membalas bbm Orin.
Orin menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Pandangannya menerawang. Malam ini berarti sendirian. Diraihnya handphone bb. Satu persatu nama kontak di bb ia jelajahi. Tertuju pada satu nama 'Rudy'.. Hmm, si bos lagi ngapain ya? Apa aku hubungi dia aja.." Orin mulai dilanda kebingungan. Malam ini  enggan sendirian. Ia jenuh hari-harinya selalu sendirian. Tanpa pendamping. Tanpa anak. Karena pernikahan yang singkat.
Ya, pernikahan Orin hanya berlangsung delapan bulan. Tito, almarhum suaminya. Meninggal dalam kecelakaan, saat hendak menjemput Orin di Stasion Kereta Api. Mobil yang ditumpangi suaminya. Terbalik setelah sebelumnya ditabrak dari belakang oleh sebuah truk. Kejadian itu berlangsung empat tahun yang lalu. Ada kesedihan diraut wajah Orin mengingat kejadian ini. Tak terasa, air matanya meleleh. Ia rindu.
Dipeluknya bantal yang ada disampingnya dengan erat. Hatinya seakan berkecamuk. Rindu yang tak mungkin ia temukan lagi. Tito, sosok lelaki dan suami yang ia idamkan. Telah pergi untuk selama-lamanya. Disaat, madu perkawinan sedang hangat-hangatnya. Setiap pertemuan dengan Tito, selalu dipenuhi dengan asmara membara. Dan tak kenal waktu. "Aah, Tito.. dirimu begitu singkat dalam hidupku.." Orin mencoba menangisi perasaannya.
****