*Julaedi Akbar
Wacana
deras kenaikan BBM sangat santer minggu-minggu ini. Kegelisahan masyarakat
semakin kentara ditengah lilitan ekonomi yang membeli akibat tidak seimbangnya
antara lapangan pekerjaan dan pertumbuhan penduduk serta tingkat kebutuhan
hidup. Minimnya SDM yang ada, membuat kebanyakan anak bangsa merelakan takdirnya
pada sekte keriminalitas, seperti melacur, mencuri, merampok, dan menipu serta
culas jadi koruptor.
Memang
kata orang bijak “ kemiskinan akan lebih dekat dengan kekufuran”. Sehingga
harapan kita, mestinya pemerintah mampu menciptakan kondisi yang
mensejahterakan masyarakat supaya terselamatkan dari bala kekufuran. Dengan
tindakan nyata yang lebih dirasakan masyarakat.
Nah,
dikaji BBM (Bahan Bakar Minyak) kali ini jika dinaikkan apa pantas atau tidak
ya?.
Pemerintah
harus jeli. Dengan BBM yang diancang-ancang naik mungkin kah akan berdampak
terhadap perbaikan tarap hidup masyarakat. Atau malah sebaliknya ini hanya
sesumbar politik yang dipantulkan ditengah kemiskinan masyarakat lalu mereka
(elit politik) tampil bak super hero/pahlawan kesiangan dengan wajah, mimik,
dan suara yang dibikin-bikin biar nampak ikhlas membela kepentingan masyarakat.
Logika Sosial Politik
Penulis,
lepas saja jeritan pengusaha industri rumahaan sebut si A sebagai dagang
gorengan. Ia bercerita dengan kalkulasi angka pendapatan yang tidak mungkin
bisa menutupi biaya produksi, ini pun dalam itungan kondisi BBM yang setabil,
terus bagaiman jika nanti BBM betul-betul jadi dinaikkan?. Berapa pengusaha
rumahan yang akan siap-siap bertahan ?.
Wajar
ditengah geliat dan ganasnya persaingan gelobalisasi, bisa saja BBM menjadi
kebutuhan primer yang sangat mempengaruhi proses aktifitas masyarakat dan ruang
publik. Jika BBM jadi naik pemerintah harus siap menerima keluhan masyarakat,
mesti ini hemat penulis merupakan rasa ketakutan pemerintah terhadap libasan
politik ekonomi dunia akibat dari pergolakan dan persaingan tehnoligi
bangsa-bangsa di dunia.
Sebutnya,
bulan depan BBM siap naik. Wacana mengembang, masyarakat akan diberikan
insentif berupa uang dengan kategori masyarakat miskin kebawah. Menjadi
kehawatiran kita, akan kah ledakan program ini akan langsung dirasakan
masyarakat. Kasuistis, tahun sebelumnya dengan pola pemberian istiah “uang BBM”
ditengah masyarakat justru menjadi problem kecemburuan sosial baru dengan pola
yang dimainkan ditingkatan lingkungan terkecil dengan potongan-potongan yang
tidak sepantasnya. Atau lebih berbehaya, memunculkan isu saling iri ditengah
masyarakat akibat tebang pilih yang diterapkan pemangku kebijakan setempat.
Sehingga yang dapat begitu senang, yang tidak dapat hanya menopang dagu.