Mohon tunggu...
Julaedi Akbar
Julaedi Akbar Mohon Tunggu... -

suka hal yang menantang, senang berselacar di dunia penuh informasi yang menyenangkan dan membiarkan ide-ide liar penuh kebebasan bercita-cita jadi pemenang...terus menang hingga hidup ini jadi tenang...begitulah kira-kira.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tafsir Ulang ;Pemimpin Perempuan (Untuk demokrasi Masa Kini)

21 Desember 2011   03:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:58 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Julaedi Akbar

Penulis berangkat dari sebuah tulisan liar di kolom kompasian tanggal 15 Desember 2011, mempertanyakan kepemimpinan seorang perempuan dengan genre “masihkah wanita menjadi pemimpin diharamkan?”. Dan isinya cukup singkat penuh dengan pertanyaan yang pantas untuk di arifi secara analisis faktual. Dalam kolom tersebut dia menggambarkan bahwa “ Tafsir agama selalu berkembang. Entah itu untuk kepentingan umat, atau kepentingan sesaat. Saya jadi ingat ketika Mega dulu jadi presiden, ada sebagian  mengharamkan, kalau seorang perempuan menjadi presiden atau pemimpin. Tetapi bukankah sekarang ada Gubernur Banten yang juga seorang perempuan? Masihkah tafsir haram bagi seorang pemimpin berjenis kelamin perempuan berlaku ? Atau hanya untuk kedudukan seorang presiden saja?”

Buat penulis, begini perbedaan pria dan perempuan tersebut bukanlah hal untuk membedakan. Perbedaan itu tidak sekedar permainan kata-kata belaka. Tapi, sebuah hal yang harus difahami. Karena dengan perbedaan itulah segala kebaikan muncul. Pria dan perempuan keberadaannya sangat menentukan perkembangan dunia ini. Khususnya perempuan. Sosok yang penuh dengan kelembutan dan kasih sayang ini mempunyai potensi dan kekuatan yang begitu besar.

Narasi Politik Kekinian Untuk Perempuan

Sejarah politik dan demokrasi bangsa ini tidak terlepas dari sejarah partai Politik. Ketika bangsa ini sudah mampu megikrarkan diri menjadi bangsa yang berdaulat 17 Agustus 1945, dan mulai diakui dunia. Persinggungan partai politik sebagai katalisator dari sebuah perubahan dan penanaman demokrasi bangsa ini cuku jelas. Bahkan hingga kini peran partai politik dalam menggiring demokrasi bangsa ini terlihat dari gelagat naifnya dalam mencetak kader-kader pemimpin bangsa. Sipa yang layak dan tidak layak menjadi pemimpin bangsa ini?. Menurut penilaian subyektif partai politik , terkadang tidak menghiraukan nilai obyektif kehendak rakyat yang sesungguhnya sebagai roh dari demokrasi itu sendiri.

Bukti, Suharto memimpin bangsa ini sampai 32 tahun berkat partai pohon beringinnya (golkar), Gusdur dengan Partai Poros Tengah (PKB, PAN dan PPP) saat itu, Megawati pernah memimpin bangsa ini dengan PDIP-nya, dan SBY pun kini menjadi presiden dengan demokratnya.

Itu semua terjadi karena demokrasi masih lemah. Perlu membutuhkan kematangan dalam mengolah perbedaan dan konflik dalam masyarakat. Demokrasi mestinya mengandalkan nalar publik yang rasional. Rasionalitas itu harus dibekali dengan kecukupan akan kebutuhan pokok. Sementara demokrasi bangsa ini masih jauh dari nalar publik yang rasional. Semuanya bisa diatur dan dibeli dengan uang.

Maka tidak jarang kita dengar aliran pro dan kontra sebagai paradok melemahkan demokrasi bangsa ini, yang tentunya tidak tebang pilih antara laki-laki dan perempuan jika mereka mampu memimpin negeri ini.

Oleh karena itu, penulis merasa sepakat ketika Candrawansah, S.I.Kom dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Lampung mengungkap perempuan zaman moderen (tak selemah dulu) yang dilansir kolom opini lombok post 17 November 2011. Dengan deskripsi pembedaan perempuan secara nature (alam) dan nurture (kebudayaan). Dimana perempuan dibedakan secara alam berdasarkan karastristik biologis, sementara secara kebudayaan menentukan perempuan itu berdasarkan posisi, peran dan karastristik yang dipengaruhi oleh lingkungan, pola asuh dan setruktur sosial masyarakat. Sehingga terkadang perempuan itu dinilai secara subyektif lemah, cengeng, cerewet, boros dan tidak tegas. Tidak seperti laki-laki yang dituntut dan dibentuk harus kuat, tangguh, cerdas, gesit dan tegas.

Jadi, pertanyaannya akan kah perempuan juga tidak bisa berkarakter seperti laki-laki yang dituntut kuat, tegas, cerdas dan gesit ?. Kembali ke pola asuh pembentukan karakter perempuan itu dari lingkungannya.

Penulis menilai, narasi politik bangsa kita terkesan menjadikan perempuan itu nomor dua setelah laki-laki. Maka tidak heran demokrasi kita selalu diwarnai rasa arogan, angkuh dan niat menghalalkan segala cara untuk mewujudkan ambisi sesaat.

Perlu Pendekatan Perempuan Mengembalikan Wujud Demokrasi

Bangsa ini pernah menoreh sejarah bagaiman perempuan memimpin perlawanan untuk mewujudkan kemerdekaan. Sebuat saja Cut Nyak Dien, perempuan Aceh yang terlahir ditengah lingkungan religus. Dengan dinamika penentangan secara konseptual agama. Namu, tetap ia tercatat sebagai perempuan yang mampu memimpin dengan karisma.

Lalu, R.A. Kartini tokoh perempuan yang juga andil dalam perlawanan memperjuangkan nasip perempuan agar bisa setara dan sejajar dengan kaum pria. Perjuangan itu pun cukup membuahkan hasil. Sehingga banyak perempuan yang berani berkompetisi diberbagai bidang disiplin ilmu dan realitas kehidupan.

Banyak lainya perempuan negeri ini yang juga turut berjuang memimpin kearah perubahan dan perbaikan kehidupan berbangsa. Baik sekup daerah maupun nasional. Dan saat ini mulai berani menunjukkan taring bahwa mereka (kaum perempuan) siap dan mampu berkompetisi dengan laki-laki untuk menciptakan perubahan demi perbaikan kondisi berbangsa dan bernegara.

Lantas, akan kah kemudian perempuan terus didikotomikan menjadi bagian-bagian minoritas yang tidak penting dalam percaturan pengambilan keputusan dan kebijakan berbangsa dan bernegara?.

Analisis kepemimpinan perempuan terlepas dari sifat kodratnya. Perempuan mestinya diberi ruang yang pas untuk turut menentukan langkah perubahan dan kemajuan berbangsa. Lewat posisi seteruktural demokrasi saat ini.Bukan malah menjadikan posisi mereka sebagai simbol tumbal kegelisahan partai politik (takut tidak punya suara dan tidak mendapatkan jatah kursi kekuasaan). Jadi perempuan yang berdasarkan keturunan, kekayaan dan kecantikan lah yang diusung, tanpa melihat potensi, kecerdasan dan karakter kepemipinannya.

Nah, penulis menghendaki ruang yang dimaksud sebagai realitas nalar publik yang rasional dengan melahirkan perempuan sebagai pemimpin bangsa ini dalam era demokrasi kekinian dengan alasan karena pendekatan perempuan dalam memainkan isting naluri sosial-pemimpin dengan rakyatnya (bak ibu dengan anaknya). Sehingga lebih mengutamakan pendekatan kasih sayangnya dalam menyelesaikan persoalan sosial, politik, ekonomi bangsa ini.

*Kord. Forum Masyarakat Ingat Lingkungan (FORMIL)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun