MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) adalah salah satu bentuk pendidikan menengah yang tetap tidak memberikan akses yang setara kepada rakyat pribumi, mengingat hanya golongan tertentu yang bisa mengaksesnya.
Menurut Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia (2001), "Pendidikan yang diterapkan oleh Belanda lebih banyak ditujukan untuk menghasilkan tenaga kerja yang murah dan terampil, bukan untuk membentuk generasi pemimpin atau intelektual yang akan mengubah nasib bangsa." Pendapat ini menguatkan argumen bahwa sistem pendidikan lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi kolonial.
Mencetak Intelektual untuk Mendukung Kekuasaan Kolonial
Meskipun sebagian besar pendidikan diarahkan untuk mencetak tenaga kerja, ada juga segelintir pribumi yang berhasil menembus sistem pendidikan kolonial dan mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Mereka ini kemudian menjadi intelektual yang mendukung sistem kolonial atau berperan dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Sekolah-sekolah seperti STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) melahirkan banyak dokter pribumi yang menjadi tokoh penting, namun tetap dalam kerangka untuk mendukung kekuasaan kolonial.
Lulusan STOVIA (sekolah kedokteran Belanda) adalah contoh bagaimana pendidikan Belanda dapat menghasilkan intelektual yang berfungsi untuk kepentingan kolonial. Namun, banyak juga dari mereka yang kemudian berperan dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Ki Hajar Dewantara, meskipun terpengaruh pendidikan kolonial, mengkritik keras sistem pendidikan ini karena dianggap tidak membebaskan anak-anak Indonesia dari belenggu kolonialisme.
Darma Putra dalam bukunya Pendidikan dan Politik di Indonesia (2006) berpendapat bahwa, "Pendidikan kolonial Belanda, meskipun mengekang, juga melahirkan segelintir intelektual pribumi yang menyadari ketidakadilan kolonial dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia." Pendapat ini menggarisbawahi bahwa meskipun tujuan pendidikan adalah untuk mendukung sistem kolonial, banyak intelektual yang berhasil bangkit dan membawa perubahan.
Kesimpulan
Pendidikan kolonial Belanda lebih bertujuan untuk mendukung kekuasaan kolonial dengan mencetak tenaga kerja yang murah dan terampil, serta beberapa intelektual yang dapat mendukung sistem pemerintahan kolonial.
Sistem ini sangat diskriminatif, dengan hanya memberikan akses pendidikan tinggi kepada segelintir orang pribumi yang berasal dari golongan tertentu. Meski demikian, pendidikan kolonial juga tidak sepenuhnya gagal, karena melahirkan generasi pemimpin yang nantinya berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Secara keseluruhan, pendidikan kolonial Belanda tidak dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas hidup rakyat Indonesia, melainkan untuk memperkuat struktur kolonial yang ada.