Ahad kemarin, tanggal 12 Januari 2025, seperti biasa saya kembali ke kampung halaman. Lelah perjalanan seketika sirna begitu menapaki halaman rumah.
Mata saya langsung tertuju pada tanaman waluh (labu) hijau yang tumbuh subur di sudut pekarangan. Pohon menjalarnya yang hijau segar dan buah-buah bulat menggantung begitu menggoda.
Saya masih ingat betul, sekitar 3 bulan lalu, saya menanam beberapa biji waluh hijau di tanah yang subur. Awalnya, hanya sejumput harapan yang saya tanam.
Namun, hari demi hari, tanaman ini tumbuh mekar melebihi ekspektasi. Daun-daunnya yang lebar menyerupai hati seolah menyambut hangat setiap sinar matahari pagi.
Walaupun belum mencapai usia panen ideal, rasa penasaran mendorong saya untuk memanen beberapa buah waluh hijau.
Ukurannya memang belum sebesar waluh yang biasa dijual di pasar, namun bagi saya, setiap buah adalah hasil jerih payah yang berharga.
Kulit waluh yang masih hijau segar terasa licin saat disentuh. Daging buahnya pun tampak padat dan berwarna kuning cerah. Saya membayangkan betapa nikmatnya waluh ini jika diolah menjadi berbagai masakan.
Di kampung, waluh hijau biasanya diolah menjadi berbagai hidangan lezat. Mulai dari dikukus bersama santan, ditumis dengan bumbu sederhana, hingga dijadikan kolak yang manis.
Bahkan, ada juga yang mengolahnya menjadi dodol atau manisan. Setiap olahan memiliki cita rasa yang khas dan mampu menggugah selera makan.
Menanam waluh hijau tidak hanya memberikan kepuasan tersendiri, tetapi juga memberikan banyak manfaat.
Selain sebagai sumber makanan sehat, menanam waluh juga dapat membantu menjaga kelestarian lingkungan.