Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

PPN 12 Persen: "Polusi Udara"

21 Desember 2024   00:14 Diperbarui: 21 Desember 2024   00:17 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Wajib pajak. | Image by Freepik/studiogstock

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% per 1 Januari 2025 bagaikan semburan asap tebal yang tiba-tiba menyelimuti langit perekonomian kita. Sama seperti polusi udara yang mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan, kenaikan PPN ini pun berpotensi mencemari kondisi keuangan masyarakat, terutama bagi mereka yang gemar mengonsumsi barang-barang mewah.

Pemerintah, dengan kebijakan fiskal ini, seolah ingin mengirimkan sinyal kuat bahwa konsumsi barang-barang yang tidak terlalu dibutuhkan harus dibatasi. Layaknya polusi udara yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, konsumsi barang mewah juga dapat dianggap sebagai "pembakaran" uang yang tidak efisien.

Mengapa PPN 12% Disebut "Polusi Udara"

PPN 12% bagaikan kabut asap yang perlahan menyelimuti langit perekonomian, memburamkan pandangan kita terhadap masa depan. Sama seperti polusi udara yang tak kasat mata namun berdampak nyata pada kesehatan, kenaikan PPN ini pun perlahan merembes ke dalam setiap sendi kehidupan, mempengaruhi pola konsumsi, investasi, hingga pertumbuhan ekonomi. 

Barang-barang mewah, yang dulu dianggap sebagai simbol status dan kemewahan, kini menjadi beban yang berat bagi sebagian besar masyarakat. Kenaikan harga yang signifikan akibat PPN 12% membuat barang-barang tersebut semakin sulit dijangkau, menciptakan jurang yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin.

Ibarat virus yang menyebar dengan cepat, efek domino dari kenaikan PPN ini terasa di berbagai sektor. Industri ritel merana, permintaan konsumen menurun drastis, dan PHK menjadi pemandangan yang tak asing lagi. Usaha kecil dan menengah pun turut terimbas, kesulitan bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat. Kenaikan harga produksi akibat kenaikan PPN membuat mereka terpaksa menaikkan harga jual produknya, yang pada akhirnya membebani konsumen.

Namun, di balik dampak negatifnya, kenaikan PPN 12% juga menyimpan potensi positif. Kebijakan ini dapat mendorong masyarakat untuk lebih bijak dalam mengonsumsi, mengurangi pemborosan, dan beralih ke produk-produk dalam negeri. Selain itu, kenaikan PPN juga dapat meningkatkan penerimaan negara, yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

Pertanyaannya kemudian, apakah manfaat yang diperoleh sebanding dengan biaya sosial yang harus ditanggung? Kenaikan PPN 12% ibarat pisau bermata dua, dapat menjadi alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar, namun juga dapat melukai masyarakat jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang tepat. Pemerintah perlu memikirkan kembali desain kebijakan ini, memastikan bahwa beban kenaikan PPN tidak sepenuhnya ditanggung oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang rentan.

Di tengah ketidakpastian ekonomi global, kenaikan PPN 12% semakin menambah kompleksitas tantangan yang dihadapi Indonesia. Kebijakan ini ibarat sebuah eksperimen besar, yang hasilnya baru akan terlihat dalam jangka waktu yang panjang. Kita hanya bisa berharap agar eksperimen ini berhasil, dan kenaikan PPN 12% dapat menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Namun, kita juga perlu waspada terhadap potensi efek samping yang tidak diinginkan. Kenaikan PPN 12% dapat memicu terjadinya inflasi, yang pada akhirnya akan membebani seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, kebijakan ini juga dapat menghambat investasi dan mengurangi daya saing produk dalam negeri di pasar global.

Apa yang Harus Dilalukan

Kenaikan PPN 12% bagaikan kabut asap yang perlahan menyelimuti perekonomian kita. Sama seperti polusi udara yang membatasi visibilitas, kenaikan pajak ini juga mengaburkan pandangan kita terhadap masa depan keuangan. Namun, di balik kabut asap ini, tersimpan potensi untuk menciptakan langit yang lebih bersih dan perekonomian yang lebih sehat. Layaknya kota-kota besar yang berlomba-lomba mengurangi emisi, pemerintah juga perlu berupaya keras untuk meredam dampak kenaikan PPN terhadap masyarakat.

Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan memberikan insentif bagi pelaku usaha untuk beralih ke produksi yang lebih ramah lingkungan. Sama seperti kendaraan listrik yang menjadi solusi untuk mengurangi polusi udara, kebijakan fiskal yang tepat dapat mendorong pelaku usaha untuk berinovasi dan menciptakan produk-produk yang lebih bernilai tambah. Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat pengawasan terhadap penerapan PPN, agar tidak terjadi kebocoran yang merugikan negara.

Kenaikan PPN 12% juga dapat menjadi momentum untuk mendorong konsumsi yang lebih bijak. Sama seperti kita perlu mengurangi penggunaan plastik untuk menjaga kebersihan lingkungan, masyarakat juga perlu lebih selektif dalam memilih barang dan jasa yang dikonsumsi. Dengan demikian, kenaikan PPN tidak hanya menjadi beban, tetapi juga menjadi stimulus untuk mengubah gaya hidup menjadi lebih berkelanjutan.

Namun, perlu diingat bahwa kenaikan PPN bukanlah satu-satunya solusi untuk mengatasi masalah ekonomi. Pemerintah perlu memiliki kebijakan fiskal yang komprehensif, yang tidak hanya berfokus pada peningkatan pendapatan negara, tetapi juga pada pemerataan kesejahteraan. Sama seperti kita membutuhkan berbagai upaya untuk mengatasi masalah polusi udara, kita juga membutuhkan berbagai instrumen kebijakan untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.

Di sisi lain, kenaikan PPN juga dapat memicu inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat. Sama seperti polusi udara yang dapat merusak kesehatan, inflasi juga dapat menggerus pendapatan masyarakat, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, pemerintah perlu memantau perkembangan inflasi secara ketat dan mengambil langkah-langkah antisipatif jika diperlukan.

Di samping itu, kenaikan PPN juga perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan publik. Sama seperti kita mengharapkan udara yang bersih dan sehat, masyarakat juga berhak mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas. Dengan meningkatkan kualitas pelayanan publik, pemerintah dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dan meminimalkan dampak negatif dari kenaikan PPN.

Kenaikan PPN 12% adalah sebuah tantangan yang harus dihadapi bersama. Sama seperti kita perlu bekerja sama untuk mengatasi masalah polusi udara, kita juga perlu bekerja sama untuk membangun perekonomian yang lebih kuat dan berkelanjutan. Dengan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, kita dapat mengubah tantangan menjadi peluang.

Kesimpulannya, kenaikan PPN 12% adalah sebuah kebijakan yang kompleks dengan berbagai implikasi. Metafora "polusi udara" membantu kita untuk memahami bahwa kebijakan ini tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga pada aspek sosial dan lingkungan. Untuk itu, diperlukan analisis yang lebih mendalam dan diskusi yang terbuka agar kebijakan ini dapat memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun