Pengangkatan Miftah Maulana Habiburrahman (Gus Miftah) sebagai Utusan Khusus Presiden menjadi sorotan publik ketika sebuah video viral memperlihatkan dirinya melontarkan kata-kata yang kurang pantas kepada seorang pedagang es teh.Â
Peristiwa ini mengundang berbagai reaksi, mulai dari kritik pedas hingga pembelaan. Di balik kontroversi ini, terdapat pelajaran berharga tentang pentingnya bahasa yang tepat, terutama bagi figur publik.
Sebagai seorang tokoh agama yang dipercaya memegang jabatan penting di pemerintahan, Miftah Maulana seharusnya menjadi teladan dalam penggunaan bahasa. Namun, tindakannya justru menunjukkan bahwa bahkan mereka yang berada di posisi tinggi pun tidak luput dari kesalahan dalam berkomunikasi.Â
Peristiwa ini menyadarkan kita bahwa bahasa bukan hanya sekadar alat untuk menyampaikan pesan, tetapi juga cerminan karakter dan kualitas seseorang.
Dampak dari Penggunaan Bahasa yang Tidak Tepat
Dampak dari penggunaan bahasa yang tidak tepat telah menjadi sorotan tajam setelah insiden yang melibatkan Miftah Maulana. Peristiwa ini menyadarkan kita bahwa setiap kata yang terucap, terutama dari seorang figur publik, memiliki konsekuensi yang luas.Â
Tak hanya berdampak pada individu yang menjadi sasaran ucapan tersebut, namun juga merembet ke berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan budaya.
Lingkup dampaknya begitu luas. Mulai dari merusak citra pribadi dan institusi, memicu perpecahan di masyarakat, hingga melemahkan kepercayaan publik. Dalam konteks keberagaman di Indonesia, penggunaan bahasa yang tidak tepat dapat memicu konflik horizontal dan menghambat upaya membangun persatuan dan kesatuan bangsa.
Di era digital, di mana informasi menyebar dengan sangat cepat, dampak dari penggunaan bahasa yang tidak tepat semakin meluas. Sebuah ungkapan yang tidak terfilter dapat dengan mudah menjadi viral dan memicu berbagai reaksi negatif, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal ini tentu saja dapat merusak reputasi Indonesia di mata dunia.
Selain itu, penggunaan bahasa yang tidak tepat juga dapat berdampak pada perkembangan psikologis individu. Anak-anak yang sering terpapar bahasa kasar atau diskriminatif cenderung meniru perilaku tersebut dan mengalami kesulitan dalam membangun hubungan sosial yang sehat.
Pentingnya literasi media dalam konteks ini tidak dapat dipungkiri. Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk mengkritisi informasi yang mereka terima dan tidak mudah terprovokasi oleh ujaran kebencian.
Namun, masalah ini tidak hanya terletak pada individu. Institusi pendidikan, media massa, dan pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam menanamkan kesadaran akan pentingnya penggunaan bahasa yang baik dan benar.Â
Kurikulum pendidikan perlu diperkaya dengan materi tentang etika berkomunikasi, sedangkan media massa harus lebih selektif dalam menyajikan informasi dan menghindari penyebaran berita bohong atau hoaks.
Pemerintah juga perlu membuat regulasi yang lebih tegas terkait ujaran kebencian dan hate speech. Sanksi yang diberikan kepada pelaku harus bersifat efektif sehingga dapat memberikan efek jera.
Dalam jangka panjang, upaya untuk memperbaiki kualitas berbahasa di masyarakat harus dimulai dari keluarga. Orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam mengajarkan anak-anak tentang pentingnya berkomunikasi dengan sopan dan santun.
Selain itu, perlu ada kesadaran kolektif bahwa bahasa adalah alat yang sangat kuat. Dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar, kita dapat membangun masyarakat yang lebih harmonis, toleran, dan saling menghormati.
Namun, perubahan tidak dapat terjadi dalam semalam. Membangun budaya berbahasa yang baik membutuhkan waktu dan upaya yang terus-menerus. Mari kita mulai dari diri sendiri dengan selalu berusaha menggunakan bahasa yang santun dan sopan dalam setiap interaksi.
Penting untuk diingat bahwa setiap kata yang kita ucapkan memiliki kekuatan untuk membangun atau merusak. Mari kita gunakan kekuatan itu untuk kebaikan bersama.
Pentingnya Memilih Kata-Kata dengan Hati-hati
Dalam era digital, di mana setiap kata yang kita ucapkan atau tulis dapat terekam dan disebarluaskan dengan cepat, pemilihan kata menjadi semakin krusial.Â
Sebuah cuitan di media sosial, komentar di sebuah artikel daring, atau bahkan pesan singkat yang kita kirim kepada teman, semuanya memiliki potensi untuk memicu perdebatan, kesalahpahaman, atau bahkan konflik. Oleh karena itu, kita perlu lebih bijaksana dalam memilih kata-kata yang kita gunakan.
Selain dampaknya terhadap hubungan antar individu, penggunaan bahasa yang tidak tepat juga dapat berimplikasi pada aspek sosial dan politik. Ujaran kebencian, diskriminasi, dan hoaks yang tersebar luas di media sosial sering kali berawal dari pemilihan kata yang tidak hati-hati.Â
Kata-kata yang mengandung unsur kebencian dapat memicu perpecahan di masyarakat, sedangkan penyebaran hoaks dapat merusak tatanan sosial dan politik.
Penting untuk diingat bahwa bahasa adalah sebuah alat yang sangat kuat. Dengan kata-kata, kita dapat membangun atau menghancurkan, menyatukan atau memisahkan. Oleh karena itu, kita perlu menggunakan bahasa sebagai alat untuk kebaikan, bukan untuk kejahatan.
Pelajaran untuk Kita Semua
Pelajaran untuk kita semua dari kasus Miftah Maulana ini begitu mendasar, namun seringkali luput dari perhatian. Kita semua, dari kalangan biasa hingga pejabat negara, memiliki tanggung jawab atas kata-kata yang kita ucapkan.Â
Setiap kata adalah benih yang dapat tumbuh menjadi pohon besar, baik itu pohon rindang yang menyejukkan atau pohon beracun yang membahayakan. Bahasa adalah alat yang ampuh untuk membangun atau menghancurkan.
Di era digital saat ini, pengaruh kata-kata semakin meluas. Sebuah ungkapan yang terlontar secara spontan dapat dengan mudah menyebar melalui media sosial dan menjadi viral. Apa yang dulunya hanya terdengar oleh segelintir orang, kini dapat didengar oleh jutaan orang di seluruh dunia. Oleh karena itu, kita perlu lebih berhati-hati dalam berkomunikasi di dunia maya.
Selain itu, kasus ini juga menyoroti pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan formal tidak hanya mengajarkan kita tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga harus menanamkan nilai-nilai moral dan etika.Â
Dengan pendidikan karakter yang kuat, kita akan lebih mampu membedakan mana yang benar dan salah, serta memiliki tanggung jawab atas tindakan kita.
Kembali ke kasus Miftah Maulana, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kesalahan dalam berbahasa dapat berdampak sangat luas. Tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga dapat merusak citra lembaga, memecah belah masyarakat, dan menghambat pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita perlu terus belajar dan berlatih untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi kita.
Mari kita mulai dengan hal-hal kecil, seperti memilih kata-kata yang santun dan sopan dalam percakapan sehari-hari. Hindari menggunakan kata-kata yang kasar, menghina, atau mengandung unsur SARA.Â
Selain itu, kita juga perlu mengembangkan kemampuan mendengarkan dengan baik. Dengan mendengarkan dengan penuh perhatian, kita dapat memahami sudut pandang orang lain dan menghindari kesalahpahaman.
Dalam konteks kehidupan berbangsa, kita perlu menciptakan ruang-ruang dialog yang kondusif. Melalui dialog yang terbuka dan saling menghormati, kita dapat menemukan solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa. Bahasa yang baik adalah kunci untuk membangun persatuan dan kesatuan bangsa.
Kesimpulannya, bahasa adalah anugerah yang luar biasa. Dengan menggunakan bahasa dengan bijak, kita dapat membangun dunia yang lebih baik. Sebaliknya, jika kita menyalahgunakan bahasa, kita dapat merusak tatanan sosial dan menimbulkan konflik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H