Kasus yang menimpa Bu Guru Supriyani, S.Pd di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, telah menyita perhatian publik. Tudingan penganiayaan terhadap muridnya menjadi sorotan, mengancam masa depan seorang pendidik yang telah berdedikasi. Di tengah kemelut ini, konsep keadilan restoratif muncul sebagai secercah harapan.
Keadilan restoratif menawarkan pendekatan yang berbeda dalam menyelesaikan konflik. Alih-alih hanya fokus pada hukuman, pendekatan ini mengutamakan pemulihan hubungan, tanggung jawab, dan pemahaman di antara pihak-pihak yang berkonflik. Dalam kasus Bu Guru Supriyani, penerapan keadilan restoratif dapat menjadi jalan tengah yang bijaksana.
Dengan melibatkan semua pihak yang terkait, termasuk Bu Guru Supriyani, murid yang menjadi korban, orang tua, dan pihak sekolah, dialog terbuka dapat terjalin. Melalui mediasi yang terfasilitasi, masing-masing pihak dapat menyampaikan perspektif mereka, mengakui kesalahan, dan mencari solusi bersama.Â
Tujuannya bukan hanya untuk memberikan sanksi, tetapi juga untuk memahami akar permasalahan, memperbaiki hubungan yang rusak, dan mencegah kejadian serupa terulang di masa depan.
Mengapa Keadilan Restoratif?
1. Fokus pada Pemulihan
Keadilan restoratif tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga berupaya memulihkan hubungan antara pelaku dan korban, serta memperbaiki dampak yang ditimbulkan oleh tindakan yang dilakukan.
Dalam kasus ini, fokusnya adalah pada pemulihan hubungan antara Bu Guru Supriyani dengan murid-muridnya dan orang tua mereka, serta menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
2. Partisipasi Aktif
Semua pihak yang terlibat, termasuk Bu Guru Supriyani, murid-murid, orang tua, dan pihak sekolah, dilibatkan secara aktif dalam proses penyelesaian. Hal ini memungkinkan mereka untuk berbagi perspektif, memahami akar masalah, dan bersama-sama mencari solusi yang terbaik.
3. Belajar dari Kesalahan