Di tengah orkestra pemerintahan yang semarak dengan jumlah menteri yang membludak, sebuah nada disonan terdengar semakin nyaring. Dilema ekonomi yang mendera bangsa seolah menjadi latar belakang yang mengaburkan harmoni kabinet.
Pertanyaan mendasar pun muncul, Apakah jumlah menteri yang berlebih ini sejalan dengan efisiensi dan efektivitas dalam mengatasi tantangan ekonomi yang kompleks?
Jumlah menteri yang membengkak seringkali dijustifikasi sebagai upaya mengakomodasi kepentingan berbagai kelompok dan daerah. Namun, di balik alasan politis tersebut, tersimpan potensi inefisiensi yang mengkhawatirkan.
Koordinasi antar kementerian yang rumit, tumpang tindihnya tugas dan wewenang, serta birokrasi yang kaku menjadi beberapa konsekuensi logis dari kabinet yang terlalu besar.
Dalam kondisi ekonomi yang sulit, setiap rupiah anggaran negara harus dialokasikan secara cermat dan efektif. Pembiayaan sejumlah besar menteri, beserta staf dan fasilitas pendukungnya, tentu akan membebani keuangan negara.
Anggaran yang seharusnya diarahkan untuk program-program prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, justru tersedot untuk membiayai birokrasi yang membengkak.
Selain itu, jumlah menteri yang banyak juga dapat menghambat pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan yang melibatkan banyak pihak seringkali memakan waktu yang lama dan menghasilkan kompromi yang tidak optimal.
Dalam kondisi yang dinamis seperti saat ini, kecepatan dan ketegasan dalam mengambil keputusan sangatlah krusial.
Untuk itu, melalui tulisan ini, ada sejumlah pertanyaan kritis yang perlu diajukan antara lain:
Apakah jumlah menteri yang saat ini ada benar-benar dibutuhkan untuk menjalankan roda pemerintahan?
Tidak ada jawaban yang benar atau salah atas pertanyaan ini. Jumlah menteri yang ideal adalah jumlah yang dapat menjamin efektivitas dan efisiensi pemerintahan dalam mencapai tujuan-tujuan nasional.