Demam bersepeda yang sempat melanda beberapa tahun lalu sepertinya tak sepenuhnya padam. Meski euforia massal mulai mereda, namun hobi mengayuh pedal tetap menjadi pilihan gaya hidup sehat bagi banyak orang.
Tren bersepeda (gowes) memang mengalami pasang surut atau naik turun. Pernah sangat populer, lalu meredup, dan bisa jadi naik lagi.
Apa yang sebenarnya menyebabkan tren bersepeda begitu fluktuatif? Beberapa faktor bisa menjadi penyebabnya, mulai dari pengaruh tren global, kondisi ekonomi, hingga ketersediaan infrastruktur yang mendukung aktivitas bersepeda.
Pandemi COVID-19, misalnya, menjadi salah satu pemicu lonjakan minat bersepeda karena masyarakat mencari alternatif olahraga yang aman dilakukan di rumah.
Namun, seiring dengan melandainya pandemi dan pembatasan aktivitas mulai dilonggarkan, minat bersepeda pun cenderung menurun.
Naik turunnya tren bersepeda tentu saja berdampak signifikan terhadap industri sepeda. Ketika minat bersepeda tinggi, permintaan akan sepeda dan aksesorisnya pun ikut meningkat.
Sebaliknya, ketika tren mulai mereda, produsen dan penjual sepeda harus mencari strategi baru untuk tetap bertahan. Perubahan tren bersepeda juga memengaruhi jenis sepeda yang diminati.
Jika dulu sepeda lipat mungil menjadi incaran banyak orang, kini tren bergeser ke sepeda-sepeda dengan spesifikasi lebih tinggi. Sepeda gravel, sepeda MTB, hingga sepeda road bike semakin diminati oleh para pesepeda yang ingin mengeksplorasi berbagai medan.
Pergeseran minat ini tentunya turut memengaruhi jenis sepeda yang dijual di lapak-lapak sepeda.
Lantas, bagaimana nasib lapak-lapak sepeda di tengah perubahan tren ini? Apakah masih ramai dikunjungi pemburu sepeda baru atau justru sepi pembeli? Kondisi lapak-lapak sepeda saat ini cukup bervariasi.