Masih terbayang dalam ingatan puluhan tahun yang lalu, sekitar tahun 80-an hingga 90-an di Tatar Sunda, khususnya di pedesaan Rancaekek dan Cicalengka Kabupaten Bandung, pada saat pertengahan Ramadan dan menjelang Lebaran saling antar makanan menggunakan rantang.
Entah kapan mulai tradisi itu ada, tapi yang pasti pada tahun-tahun itu tiap Ramadan tiba  dan menjelang datangnya Lebaran ada tradisi rutin tahunan yaitu saling antar makanan diantara warga kampung memakai wadah rantang.
Saling antar makanan menggunakan rantang itu, juga akrab istilahnya dengan sebutan Rantang Keliling (Ranting). Tiap harinya antara warga yang satu dengan lainnya saling mengantar makanan menggunakan rantang.
Memang, tradisi saling antar makanan menggunakan rantang ini, bukan hanya kebiasaan di Tatar Sunda saja, tapi juga ada di daerah lain, seperti di Betawi Jakarta dan sejumlah daerah lainnya di pulau Jawa. Serta, penyebutan dan istilahnya di tiap daerah berbeda-beda.
Isi dari rantang adalah berbagai makanan, seperti nasi putih, tumis dan lauk pauknya. Satu warga dengan warga lainnya tiap hari saling mengirim makanan.
Banyak hikmah yang didapat dari tradisi ini, diantaranya mempererat silaturahim, menjalin tali kasih, peduli antar sesama warga dengan belajar berbagi rezeki.
Namun, sayang tradisi baik dan unik ini, kini sudah jarang terlihat, bahkan nampaknya akan mengarah kepunahan. Tidak tahu apa yang menyebabkan rantang keliling ini berhenti. Tapi, rupanya ada perubahan jaman yang tak bisa dihindari.
Saat ini, tradisi rantang keliling ini hanya jadi kenangan. Jangankan di perkotaan, di kampung atau pedesaan sekalipun tradisi ini sudah asing dan kemungkinan besar akan punah ditelan jaman.
Walaupun demikian, banyak cara lain yang bisa dilakukan dengan tujuan dan makna yang sama guna mempertahankan tradisi baik di Tatar Sunda yaitu saling mengasihi antar sesama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H