"Yang bener, Pungli itu adalah punggung liar. hahahahha." semua yang ada di kedaipun tertawa terbahak-bahak.
Iya pungli, masih merajalela di setiap sudut-sudut jalan tol di kota jakarta ini. Jangan salahkan petugas penarik pungutan, sebab sistemlah yang membuat mereka melakukan kegiatan tersebut. Jatah setoran ke atas harus tetap mengalir, belum lagi jatah beli bensin untuk mobil-mobil patroli mereka yang memang benar-benar minim.
Malam terbelah oleh gelak tawa, akupun bergegas menghabiskan kopi. Saatnya membayar, dan si sopir melarangku untuk mengeluarkan recehan.
"Rejeki Pungli Bang, harap diterima, kan sudah ada jatah tersendiri dari si Boss. hahahaha." Kembali tertawa membelah sunyi malam.
Tiap sopir sudah tahu persis, dimana dia kasih jatah pungli pada petugas, dan berapa kali harus membayar pungutan liar itu. akupun berandai-andai, jika ga ada pungli, mungkin para pengusaha kecil atau menengah bisa tetap bertahan, mungkin juga pungli itu diperuntukan bagi kaum miskin, ntah berapa persen yang tertolong. Dan mungkin pungli aadalah sarana silaturahmi para petugas dan sopir. Namun ada pengecualian, sebab kadang petugas pungli, tidak menyetop truk yang kapasitasnya berlebihan, atau sebaliknya.
Pungli adalah bukan masalah, yang bisa dijadikan masalah dan akhirnya menjadi sumber masalah, hinggal sumbernyapun berujung dan hilang. Pungli, tetap pungli dan selamanya akan menjadi liar. Ntah sudah memenuhi persyaratan atau tidak, pungli tetap jalan. Lalu apa bedanya dengan orang yang tertib dengan orang yang ga tertib? Jelas beda, yang sama adalah sama-sama membayar pungli.
Foto diambil dari: http://mesanint.blogspot.com/2013/01/awas-polisi-doyan-pungli-segera.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H