Kau terus menolaknya.
Kau terus mengabaikannya.
Bahkan lebih seru lagi inginya kau mengancurkanya hingga hilang tanpa bekas.
Kau melihat Dengan kaca mata bencimu.
Dengan pandangan sakitmu.
Hingga kau merasa hanya dirimulah yang pantas.
Dia diam,
mulutnya seakan terkunci, bukan karena mengunci,
tapi logikannya menguasai perasaannya.
Pahit karena penolakanmu.
Pedih karena abaimu dan sakit  karena seranganmu.
Tapi dia mengabaikan apa yang dirasakannya.
Nalarnya terus menelusuri tiap sudut bidang hidup ini.
Siapa yang bisa mengahalangi yang tersembunyi
Menghapus yang tak nampak
Dan menghilangkan yang maya.
Logikamu tak tersampaikan padanya.
Hanya bisa kau tepuk- tepuk dadamu,
Ketika yang tersembunyi itu muncul di permukaan.
Yang tak nampak menjadi terlihat jelas
Serta yang maya menjadi realita
Kini Kau hanya bisa diam
Memendam tangis perih yang berkecamuk di dada.
Menanggung sesal yang menghimpit,
Serta derita yang tak tertolak.
Kau tak bisa melakukan apa-apa.
karena dia  sudah membentuk kesatuan kuat yang bermakna.
Bermakna nyata.
Membawa angin segar tanpa debu menemaninya.
Bersih, jernih membentuk samudra perkasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H