Ku tertunduk mata ini memandang bumi yang diam kala kupijak.
Dia begitu pasrah meski perkasa.
Dia tanggung apapun yang bersandar padanya.
Dia begitu bijak, menghampiri yang kelelahan akan bisingnya dunia.
Ku berjalan dengan indah.
Ditemani sepoi angin nan sejuk melenggangkan angan.
Kumerasakannya masuk menyusuri setiap pori-pori kulitku.
Setia menghibur hati nan kalut akan rumitnya dunia.
Senyumnya membawaku seakan bermimpi bulan madu.
Seperti menikmati cita dalam genggaman.
Aku dikagetkan akan suara gemuruh guntur.
Menyeruak bawah sadarku.
Menyadarkanku akan perjalanan yang sudah cukup jauh.
Dan aku masih bermimpi, sedang dunia ini nyata.
Membuka mataku untuk melihat yang sudah tak samar lagi.
Kulihat hitamnya hitam dan putihnya putih.
Kuteliti dengan perih, akan nyata yang menyakitkan.
Kala hati tersadarkan, kala jiwa meronta akan harap.
Harap yang tak kunjung menghampiri, harap itu terus bermain-main di sana.
Di angan yang tak tersimpati, di maya yang jauh dari empati.
Aku kini bangun dan berdiri lalu berjalan.
Ku kan tinggalkan semu itu, kutinggalkan maya itu.
Dan aku tak mau bermain-main lagi.
Karena pengelihatanku sudah cukup jelas kini.
#DokJay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H