Mohon tunggu...
juju juriyah
juju juriyah Mohon Tunggu... Guru - Penulis sastra dan nonsastra, guru man 3 Cirebon peraih juara menulis tingkat internasional maupun nasional.

Hobi menulis sebagai tempat untuk berbagi dan tempat mengungkapkan ide/gagasan/pendapat dan perasaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menyibak Sisi Hati

5 November 2022   21:56 Diperbarui: 5 November 2022   22:19 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cahaya Fajar menghampiri dan menyapa pagi. Menyusuri kesejukan alam di waktu subuh. Kumembuka mata ini di pagi buta nan dingin, berselimut alunan suara adzan yang menggema. Menyadarkan akan naluriku yang sekan terlena dengan indahnya suasana sepiku. 

"Bangun ibu, sudah shubuh" suara anakku membangunkanku. Astaghfirullah bisikku dalam hati. Dan aku pun bangun. Pagi ini kami sekeluarga sarapan pagi di taman belakang.  Aku melihat anakku makan dengan lahapnya tidak seprti biasanya.

Setiap ibu pasti akan bahagia melihat anaknya yang sehat dan lincah seperti nya. Pagi ini ditaman ini perasaanku seakan melenggang seperti embun yang berjatuhan laksana burung yang hinggap di dedaunan, bergoyang-goyang. 

Ku tersenyum sendiri. "Ada apa Bu", suamiku mengagetkanku, dan aku hanya menggeleng. "Beena sudah berangkat yah" tanyaku, karena aku tidak melihat anakku sejak selesai sarapan. 

"Sudah tadi dia bilang untuk menyampaikan padamu, karena dia tidak mau mengganggumu, sepertinya kamu sedang asyik memandang bunga-bunga itu". Jawab suamiku, dan aku hanya bisa tersenyum mengiyakan. 

Kami pun mulai bergegas berangkat ke kantor. Kami memilki persamaan satu profesi sebagai pegawai pemda.  

Dalam perjalan ke kantor aku merasakan keindahan pagi tadi masih menari-nari di benakku, meresap rasa bergiliran masuk relung hati. Berkibar bagaikan bendera kemerdekaan seru meronta menggapai angkasa, menyisih sisa-sisa gemerlap cahaya bintang semalam. Menyibak cekam jiwa.

Seiring cahaya berhamburan keluar dari batas cakrawala, akhirnya kami tiba di kantor yang sudah sepuluh tahun ini kami berkiprah di dalamnya. Di sini di depan halaman kantorku aku seakan disapa oleh mentari  dengan cahaya keemasannya nampak tersenyum begitu manis. 

Semanis senyum suamiku. Senyum itu seakan mengajakku berdendang berjalan menggapai mimpi yang belum tergenggam. Akhirnya langkahku sampai ke dunia yang begitu lama kukenal namun semakin terasa asing.

Terasa aneh saat kudengar suaranya yang jauh dari logika.  "Brenda kau tahu tidak yaa, kemarin kan aku emang tidak tertarik dengan pekerjaan diproyek yang ditawarkan Pa Mul,  yang sekarang sedang kamu kerjakan itu." Dinda teman sekantorku tiba-tiba datang menghampiriku dan dengan lantangnya bicara seperti itu. 

Kaget juga ya, karena sebenarnya waktu itu dia  sangat berminat,  tapi karena dia tidak termasuk dalam persayaratan tersebut, hingga dia tidak masuk katagori, sehingga aku yang dipilihnya. 

Aku hanya diam sambil mengangkat bahuku pura-paura tidak tahu apa-apa. Prihatin juga rasanya saat kulihat geraknya yang menentang jalur lintas alami. Begitukah ...Ketika manusia terus berpura-pura menjadi yang terbaik.

Aku melangkah menuju tempatku, di sini di bangku tempat dudukku yang sederhana. Aku mulai mengerjakan tugas-tugasku, tanggung jawabku. Setiap pekerjaan aku selalu melaksanakannya dengan cermat dan teliti jangan sampai keluar dari jalur-jalur. 

Aku selalu membaca dan mempelajari hal-hal baru untuk selalu mengupdate pola pikirku dan meningkatkan kinerjaku. Aku banyak belajar dengan menelisik ilmu, mendekatinya, mengenalinya lebih dalam sebagai rujukan-rujukan kebenaran. 

Dengan ilmu semua bisa dikerjakan dengan baik dan mendapatkan hasil yang sempurna. Tapi selalu ku sering mendapatkan hal-hal yang kadang tidak aku mengerti di lingkungan pekerjaanku ini. 

Banyak pegawai-pegawai yang lain yang hanya bisa mencari-cari kesalahan orang lain, membicaraknnya seperti dialah yang terbaik. Kalau sudah begini aku hanya bisa menunduk malu dan merintih pilu akan jiwa yang merana karena ketidakmampuannya. 

Aku kadang takut aku terpeleset melakukan hal yang sama seperti mereka karena aku juga manusia, yang sering lupa dan alpa. Dalam rasa yang ada di sudut hati yang terdalam. Akhirnya meluncur kata dalam sadar dan ikhlas kalimat istighfar menghiasi bibir ini. 

Mengharap ridhomu ya Illahi. Mengharap petunjukmu, memohon perlindungan dalam dunia yang fatamorgana dan banyak tipu daya ini.

#DocJay

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun