Mohon tunggu...
Juhai riya
Juhai riya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penulis amatir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bunga Terakhir

28 Maret 2024   18:00 Diperbarui: 28 Maret 2024   18:05 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

     Kisah ini bermula dari insiden kecil yang membawa seorang gadis berseragam abu-abu terjerat dalam pusaran asmara cinta seorang Raden Bagus putra. Dia Lia, atau lebih tepatnya Aulia Farhan. Pertemuan yang bisa di bilang tidak romantis. 

Hmm... Berjalan seorang diri dengan tatapan kosong memang tidak di anjurkan, terlebih di jalan raya karena akan menyebabkan kecelakaan. Seperti yang Aulia alami saat ini, karena tidak fokusnya dalam berjalan menyebabkan kecelakaan tunggal pesepeda motor yang tengah melintas bersama temannya. Dirinya terjatuh bersamaan dengan pesepeda motor itu. Terkejut...? Oh, tentu. Dengan segera ia bangkit lalu membantu pesepeda motor itu untuk berdiri.  

   “ Aduh, aku minta maaf ya. Kamu nggak papa kan ?” tanyanya.

 Belum sempat pesepeda itu menjawab, segerombolan pesepeda lainnya datang menghampirinya. 

“ Kamu nggak papa den ?” tanya salah satu temannya yang dibalas gelengan oleh pemuda itu.

 Aulia yang disamping-Nya hanya menunduk takut, pasalnya semua tatapan saat ini berpusat ke arahnya.

 “ Widih... Ada dedek gemoy nih !” seru salah seorang berbadan sedikit gempal.    

   Semenjak insiden itu, keduanya saling dekat satu sama lain. Bahkan tak jarang Raden mengajak Aulia untuk main keluar, entah makan bersama atau jalan-jalan keliling kota atau mengantar jemput nya ke sekolah. Sampai tiba dimana waktunya sebuah ungkapan perasaan terlontar dari bibir sosok Raden Bagus putra, langit malam yang berbintang serta indahnya taman kota menjadi saksi bisu ungkapan perasaan sosok Raden. Aulia dengan senang hati menerimanya. 

     Minggu, Raden mengajak Aulia untuk menemaninya untuk pergi ke salah satu pantai yang ada di kota itu. Semua rasa berpadu menjadi satu di hati Aulia maupun Raden. 

Duduk di gazebo menikmati deru angin pantai dan indahnya senja adalah salah satu keinginan Aulia.

    “ Dari dulu, aku sangat ingin melihat senja secara langsung, dan... Makasih !” ucapnya yang terkesan tiba-tiba.     

                                  

 “ Makasih, untuk apa ?” bingung Raden. 

“ karena kamu keinginan ku terwujud“ tutur Aulia. 

Raden hanya tersenyum sembari mengangguk, lantas ia pamit pergi sebentar, Aulia hanya diam menunggu tanpa memedulikan Raden yang pergi entah kemana. 

    Tak selang berapa lama, Raden datang dengan membawa buket mawar merah, sontak hal itu membuat Aulia tersipu malu. Bukan satu atau dua kali Raden memberi bunga kepadanya, tapi setiap kali Raden berkunjung ke rumahnya tak lupa dari makanan dan bunga mawar merah. Menurutnya, bunga mawar merah itu sebagai lambang dari cintanya, begitulah kira-kira setiap kali ku tanya. Sampai suatu ketika, Raden berkunjung ke rumah Aulia dan di sambut langsung oleh orang tua Aulia. Ia meminta izin kepada orang tua Aulia untuk melamarnya sekaligus berpamitan pulang kampung guna untuk menjemput orang tuanya, dan ia juga bilang akan datang lagi bersama kedua orang tuanya, tak lupa buket mawar merah yang selalu ia bawa untuk Aulia. 

“ Aku pamit ya, Malam Senin aku kesini lagi “ ucap Raden seraya mencium kening Aulia. 

“ Hati-hati !” 

“ Oh iya, bunganya di simpan ya, nanti aku bawa lagi setelah kembali kesini” janji Raden, Aulia hanya mengangguk tersenyum.

    Tanpa di sangka ternyata malam itu merupakan malam terakhir mereka bertemu. Kapal yang di tumpangi Raden mengalami kerusakan di bagian mesin yang menyebabkan mesin mati dan tenggelam. Aulia sangat terpukul, ternyata perintah untuk menjaga bunga yang Raden berikan adalah sebagai bunga terakhir 

Debur ombak di bawah langit senja

Mengantarkan rasa yang sempat tak terucap. 

Disini, di atas hamparan pasir putih dan di bawah langit senja yang indah. Kau berjanji untuk kembali ke hadapan ku. Namun, kau malah mengingkari ucapan itu. 

Sekarang, tak ada lagi orang yang memberiku kecupan hangat di kening, tak ada lagi orang yang akan membawaku melihat senja seperti kala itu, tak ada lagi orang yang mau mendengar keluh kesahku sekarang, tak ada lagi orang yang akan memberiku serumpun bunga.  

Kini, Aku hanya bisa menatap senja tapi tidak dengan keindahannya. 

Karena keindahan itu telah tenggelam di dasar bumi bersamaan dengan kisahku dan kisahmu 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun