Mohon tunggu...
Juha Matba'e
Juha Matba'e Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomim(STIE) Ganesha Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dana Desa Rawan Korupsi

27 Januari 2018   23:52 Diperbarui: 28 Januari 2018   14:06 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Komitmen pemerintah untuk membangun suatu Negara sudah mulai nampak dengan telah digulirkannya Program Alokasi Dana Desa (ADD), jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung untuk membayai pembangunan Negara secara merata (melalui desa), yakni dikisaran Delapan Ratus Juta Rupiah (800) hingga Dua (2) Milyar  . ADD telah digulirkan sejak tahun tahun 2015 lalu dan harus dipergunakan untuk pembangunan desa guna menunjang dan meningkatkan akses pendapatan masyarakat yang selama ini kurang diperhatikan oleh pemerintah pusat.

Dana desa tersebut diserahkan sepenuhnya ke Kepala Desa (kades) untuk membiayai pembangunan-pembangunan di pelbagai sektor, khususnya di sektor infrastruktur yang saat ini tengah menjadi prioritas pemerintah pusat. Dengan adanya dana desa diharapkan kepala desa transparan dalam mengelolanya dan menyerap sesuai dengan kebutuhan desa, sehingga masyarakat bisa merasakan dan menikmatinya.

Menteri dalam Negeri (Mendagri), Tjahyo Kumolo, berharap bahwa "dana desa tidak boleh dimamfaatkan hanya oleh segelintir orang. Pemanfaatan dana desa harus optimal menyerap partisipasi dari masyarakat desa". seperti yang dikutip Republika. Kamis (03/08/2017). Namun, harapan Mendagri tidak begitu didengar dan diaplikasikan oleh banyak  kepala desa, banyak diantara mereka (Kepala Desa) mungkin yang menganggap harapan tersebut hanyalah sebuah kata-kata yang tidak serius, melihat pengawasan dan kontrol dari pusat yang hanya dicukupkan pada Gedung Inspektorat Kabupaten saja. Sehingga kemudian mereka dengan sewenang-wenangnya melakukan pelbagai perencanan dan pelaporan program desa yang fiktif demi untuk memenuhi hasratnya.

Tak sedikit para Kades melakukan korupsi, penggelembungan dan penyelewengan terhadap dana desa. Hal ini terbukti dari hasil pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis ada 110 kasus penyelewengan dana desa dan alokasi dana desa sepanjang 2016-10 Agustus 2017. Dari 110 kasus, pelakunya rata-rata dialakukan kepala desa alias kades. Detiknews, Jumat (11/08/ 2017).

Jumlah penyelewengan itu sungguh sangat tidak sedikit jumlahnya, melihat pada pengawasan yang melibatkan beberapa institusi. Namun tidak bisa juga mencegah adanya tindakan-tindakan yang melanggar hukum tersebut. Belum lagi pantauan dari tahun 2015. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kinerja institusi (pengawas) masih belum bekerja secara optimal. Hal ini menjadi PR besar bagi pemerintah untuk terus membenahi sistem dan institusi-institusi yang yang berkaitan dengan ADD, agar dana desa tidak bisa dijadikan sumber mata pencaharian kepala desa.

Proses pembuatan perencanaan dan palaporan program desa fiktif yang rentan terjadi adalah di tempat yang kumuh atau pedalaman, karena di tempat tersebut sulit terkontrol oleh pemerintah daerah atau pusat, dan minimnya pendidikan serta sosialisasi pun masih jarang dilakukan oleh kepala desa sendiri. Sehinga banyak masyarakat pedalaman yang kurang paham perihal adanya dana desa dan diperuntukkan untuk apa saja?. Kecuali tempat tersebut menjadi perhatian pemerintah daerah atau pusat. Ironisnya, masih banyak desa pedalaman yang belum tersentuh oleh infrastruktur, seperti jalan aspal, aliran listrik dan irigasi.

Meskipun pemerintah telah melibatkan beberapa institusi, mulai dari pengawsan pusat, kepala daerah, pendamping desa hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun ikut andil mengawasi jalannya program Dana Desa. Namun, tidak secara penuh bisa mengetahui program-program yang ada di desa, karena KPK mengawasi tidak sampai ke lapangan (program desa secara nyata).

Ada dua lembaga yang kerap menjadi partner Kepala Desa untuk melakukan program desa fiktif (kongkalikong). Pertama,pendamping desa, karena lembaga inilah yang menjalankan kontrol atau pengawasan secara langsung terhadap program-program desa. Sehingga kepala desa dengan mudahnya melakukan pelaporan program desa fiktif. Hal ini tidak lepas dari adanya rekomendasi kepala desa saat seleksi recruitment pendamping desa tanpa didasarkan pada kompetensi yang mumpuni.  

Kedua,yang tidak kalah pentingnya adalah pengawasan saat pencairan dana desa dari kebupaten ke desa, karena dari sini lah proses suap-menyuap sering terjadi untuk me-mulus(lancar)kan pencairan dana desa. Kemudian akan terjadi suatu pelaporan program desa yang fiktif pula. Seperti yang terjadi pada tahun 2017 kemarin, Republik ini dihebohkan dengan kasus yang menarik perhatian bangsa Indonesia, KPK telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terkait kasus suap yang melibatkan Bupati Pamekasan, Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala Inspektorat dan Kepala Bagian Administrasi, hingga kepala desa Dassok, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan Jawa Timur. Kasus ini adalah kasus yang sangat luar biasa parahnya karena melibatkan pejabat daerah dan institusi tertinggi di daerah tersebut.

Ada dua sistem yang rawan adanya KKN dan mesti diperbaiki. Pertama, pemerintah seharusnya lebih menekankan dan memfokuskan pada tim pengawas dari pusat agar lebih intens mengawasi pendamping desa yang selama ini sarat akan kongkalikong dengan kepala desanya.

Kedua, sistem pencairan dana desa harus diubah. Artinya pemerintah seharusnya merubah pencairan dana desa yang masih melalui Kabupaten. Yakni pencairan alokasi dana desa secara langsung melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes, PDTT), agar kasus yang telah terjadi pada tahun 2017 kemarin yang telah melibatkan Kepala Desa dan Bupati Pamekasan beserta Institusinya yang terkena OTT oleh KPK terkait suap penanganan korupsi dana desa tidak terulang lagi di pelbagai desa.

Untuk itu, diperlukan sebuah sistem yang tepat dan pengawasan yang secara aktif dan masif dari pemerintah pusat, terlebih bagi semua Stakeholder, khususnya masyarakat dan para mahasiswa untuk juga ikut terlibat mengelola, mengawasi dan mengontrol adanya dana desa tersebut agar tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang atau pun kelompok. Karena sejauh ini banyak perdebatan dan opini masyarakat perihal alokasi dana desa yang digulirkan oleh pemerintah sarat akan kepentingan kelompok saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun