Iklan yang mengklaim "kulit putih lebih menarik daripada kulit hitam" dikembangkan bukan melalui reproduksi kekuatan yang menindas, melainkan melalui reproduksi kreatif. Individu didefinisikan, diproduksi, dan diproduksi oleh pemasaran, seperti wanita cantik berkulit putih dan pria normal yang menyukai wanita kulit putih.
Stereotip terkait erat dengan seks dan gender, yang merupakan gagasan sosiologis yang mengacu pada pemisahan kualitas psikologis dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan berdasarkan anatomi gender (jenis kelamin). Seorang wanita, misalnya, direpresentasikan memiliki karakter yang sangat baik ketika dia menjadi ibu rumah tangga atau istri yang baik (seperti dalam iklan minyak goreng), tetapi seorang pria memiliki karakter yang baik ketika dia adalah seorang individu di dunia yang lebih luas.
Masyarakat umum di mana pun, termasuk Indonesia, masih menganggap laki-laki di sebelah kiri (aktif, beradab, logis, dan pandai) sedangkan perempuan di sebelah kanan (pasif, dekat dengan alam, emosional, kurang cerdas). Iklan yang membakukan sosok wanita ideal menunjukkan bagaimana mata pria (lebih lanjut nanti) membangun wanita berdasarkan impian mereka tentang "wanita seksi atau menarik". Model perempuan dijadikan objek untuk mewujudkan visi tersebut, sedangkan laki-laki adalah pembuatnya. Tidak hanya dalam periklanan, tetapi juga di media seni, stereotip oposisi biner menempatkan perempuan pada posisi yang kurang menguntungkan. Stereotip tentunya sangat merugikan bagi perempuan yang bekerja tidak hanya di bidang periklanan tetapi juga di bidang seni. Namun, tidak seperti media komersial iklan, media seni juga dapat digunakan untuk mendobrak stereotip. Berbeda dengan media komersial iklan di media, kita mungkin menemukan rasa kebebasan dalam media seni
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H