Mohon tunggu...
jufriyanto
jufriyanto Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mas Juff

Tajam Berpikir Lembut Berdzikir

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memahami dan Mengaktulisasikan Makna

29 Maret 2023   15:26 Diperbarui: 29 Maret 2023   15:27 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesimpulannya adalah bahwa analisis Semiotik mengandung tiga aspek penting, yaitu (1) Celah yang terbuka antara tanda (simbol) dan pemikiran, atau antara pembicaraan dan pandangan, karena kita selamanya membicarakan sesuatu yang tidak tampak, atau kita menggunakan simbol yang tidak menunjukkan identitas dirinya, tapi menunjukkan identitas yang lain. Celah ini yang membuat hal yang dibicarakan menjadi sesuatu yang serba mungkin dan tidak terbatas kemampuannya sampai suatu saat tertentu. (2) Bahwa tidak mungkin ada sebuah pemikiran tanpa suatu sistem bahasa dan sistem tanda (simbol). Untuk itu, kosa kata menciptakan sesuatu dengan makna tertentu. (3) Bahwa tidak ada pemikiran tanpa gambaran-gambaran dan analogi-analogi, atau tidak ada pemikiran tanpa aspek imajinasi-simbolik. 

Paparan di atas menyusun sisi objektif dari berbagai kreativitas pemikiran yang kita persiapkan dan kita ulangi kembali dalam bentuk yang lebih dekat dengan ketidakteraturan dan kemonotonan. Kalau kita tidak mampu untuk berpikir tanpa sarana bahasa dengan sistem simbol dan kebebasan metaforanya sementara pada saat yang sama suatu tanda menunjukkan deskripsi akal budi yang berada di semesta imajinasi dan dunia ide saja, sebelum ia menunjukkan suatu identitas kongkrit maka hal itu menunjukkan bahwa sebuah pemikiran hanya dapat berhubungan dengan suatu kreativitas dan mencakup benda-benda yang identitasnya berada di alam khayal saja, apapun referensi, objek, gagasan yang ditawarkan atau arah yang dikehendaki. 

Karenanya, bukanlah suatu kesulitan untuk memilih satu di antara pemikiran materialisme dan pemikiran idealisme, atau antara mazhab yang menyatakan bahwa eksistensi itu hanya ada di alam nyata dan mazhab berikutnya yang menyatakan bahwa alam ini hanyalah penampakan dan pengaruh dari alam lain yang bersifat maya. Kesulitannya adalah ketidaksesuaian antara apa yang kita pikirkan dengan apa yang kita lihat, atau ketidaksesuaian antara apa kita bicarakan dengan apa yang kita pikirkan, baik ketika kita membicarakan tentang persoalan materi, fisik, atau tentang Tuhan dan Ruhani, arau ketika kita mempersoalkan tentang sejarah dan memikirkan tentang ilmu alam, atau ketika kita percaya kepada Yang Transenden dan memikirkan sesuatu yang metafisik. 

Referensi dan obyek-obyek eksternal menjadi sama, apabila dipandang dari sudut pandang ini, atau sudut pandang di antara diri kita dengan berbagai intensitas metaforis dan sarana teori pemahaman. Dari sinilah dibutuhkan aplikasi dari metode Fenomenologi, dimana prinsipnya menghubungkan banyak teori dan struktur pemikiran dengan hubungan yang terus-menerus antara satu makna dengan makna yang lain, atau dari satu semesta dengan semesta yang lain, atau dari suatu eksistensi menjadi eksistensi baru, sebagai upaya untuk mencapai hakikat yang sebenarnya dari segala sesuatu. 

Pencapaian kepada suatu identitas berarti mengarahkan segala pembicaraan ke arahnya yang tidak akan dapat dicapai kecuali dengan perubahan antara banyak benda dan penamaannya dengan banyak terma. Namun hal ini tidak mungkin, karena tidak ada suatu entitas yang dapat dirujuk kepada beragam entitas lainnya, atau memiliki sifat yang sama dengan entitas yang berbeda tersebut, atau berwujud sebuah entitas yang sulit untuk didefinisikan. 

Tapi yang mungkin dinyatakan adalah bahwa segala sesuatu mungkin untuk dikembalikan kepada sesamanya, selama ia berasal dari satu sumber dalam satu wilayah dan mencerminkan satu terma eksistensial yang merupakan pusat dari persamaan dan perbedaan, dimana suatu benda dapat dianalogikan dengan nama, ide atau sifat benda lain. 

Hal itu merupakan kemungkinan ontologis yang terbuka untuk menjadikan pengetahuan sebagai suatu rangkaian hasil perenungan yang membentuk penafsiran baru sebagai hasilnya, bahkan merupakan bentuk perluasan makna lama yang berdasarkan pengungkapan simbol-simbol dalam bentuk rumusan yang harus dibongkar akumulasi makna dan kandungan metaforanya. Pada akhirnya, entitas itu tidak ada tanpa nama. Sebuah nama adalah petunjuk yang harus dipahami dan ditafsirkan. Tidak ada penafsiran yang hampa dari analogi pinjaman dan term-term lain untuk menerangkan identitas dan sifat sifatnya. 

Singkat kata, pengetahuan tentang sesuatu tidak akan sempurna tanpa analogi pinjaman yang dasarnya adalah penyandaran sesuatu kepada sesuatu yang lain dengan sifat-sifat tertentu, apabila sebuah universalitas terkait dengan universalitas yang lain. Objek-objek tentang interpretasi simbol dan pengetahuan ini, dapat dilihat dalam pembacaan Nietzsche terhadap kata-kata Ibn "Arabi, khususnya pada sebuah pernyataannya yang berbunyi "Siapa yang mengetahui hakikat sesuatu, maka ia telah menerima kunci ilmu pengetahuan".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun