Sayangnya, poligami yang sudah diterima oleh Arini atas nama Allah itu, eh tidak lama kemudian berakhir tiba-tiba. Meirose memilih untuk berpisah. Wow. Meirose meninggalkan anaknya. Wow.
Ending film ini memang dramatis dan layak disimak dari sisi perfileman. Mungkin beberapa penonton menarik nafas panjang karena lega. Tapi, dari sisi content, sangat disayangkan. Mengapa Meirose dibuat harus pergi? Pergulatan batin Meirose itu sendiri tidak diekplorasi dengan baik sejak awal sehingga tidak jelas mengapa tiba-tiba ia mengakhiri poligami yang baru saja akan dimulai itu.
Menurut saya, ini ending yang terlalu dipaksakan. Terus terang, saya kurang suka dengan ending seperti ini dalam film manapun.
Mau saya, Meirose itu bertahan. Toh, Arini sudah bersedia. Pras pun telah siap menjadi tulang punggung keluarga, memimpin dua istri. Tuhan pun sudah dilibatkan dalam urusan mereka karena terlihat mereka telah melakukan shalat bersama. Mengapa tidak dibiarkan saja mereka mengharungi kehidupan rumah tangga yang baru ini? Biarkan masyarakat tahu bagaimana pahit-manisnya poligami tanpa harus dipaksa berakhir. Petanyaan ini tentu saya tujukan kepada Asma Nadia, sang penulis.
Tapi baiklah. Itu pilihan Asma Nadia. Hak dia sepenuhnya.Â
Saya hanya khawatir cerita semacam ini akan menambah persepsi masyarakat kalau sesungguhnya poligami itu negatif adanya sehingga harus diakhiri kalau mau selamat.  Seolah-olah, tidak ada poligami yang benar. Poligami yang ada selalu dimulai diam-diam. Poligami harus sulit  karena hanya boleh kalau tujuannya menolong orang. Poligami harus berakhir pula kalau mau selamat. Jelek sekali poligami seperti itu.
Betulkah poligami hanya boleh kalau tujuannya menolong orang? Menolong orang adalah tujuan yang mulia. Tapi, poligami yang diizinkan Islam tidak hanya untuk itu. Sepanjang tujuan poligami adalah tujuan yang baik dan halal, poligami diperbolehkan asalkan ditempuh dengan cara yang benar dan halal juga. Tujuan poligami yang terbaik adalah menghidupkan sunnah.
Betulkah poligami boleh tanpa sepengetahuan istri? Persetujuan istri memang tidak diperlukan sebagai syarat bagi seorang laki-laki menikah lagi. Tapi, rumah tangga poligami mustahil dapat dijalankan dengan benar, baik dan adil bila kedua istri tidak saling mengenal, apalagi tidak saling bekerjasama. Poligami sembunyi-sembunyi adalah poligami buruk.
Poligami Pras, Arini, dan Meirose yang ditunjukkan Asma Nadia, menurut saya, adalah poligami yang kurang baik, banyak cacatnya. Tujuan Pras menikahi Meirose mungkin bisa dipandang mulia. Tapi, cara yang ditempuh Pras dengan menikah diam-diam, sembunyi-sembunyi, adalah buruk.
Keputusan Arini untuk menerima poligami karena anak, bukan karena melihat manfaat poligami itu sendiri, menurut saya juga kurang bagus dan kurang mendidik. Ada unsur "terpaksa", atau "daripada."
Yang paling tidak bagus adalah keputusan Meirose yang akhirnya pergi meninggalkan anaknya padahal Pras sudah siap menanggung seluruh resiko rumah tangga itu.