Menurut orang tua, sajian nasi putih dan telur itu berkah. Entah gimana wujud berkahnya? Tapi menurut mereka, karena letak sajiannya di puncak, sudah barang tentu lebih duluan terserap energi do'a.
Merujuk pada bahasa kami (Kulisusu), Pebhahoka berasal dari kata dasar pebhaho, yang artinya mandi. Lebih jelasnya, tradisi tersebut erat kaitan dengan mensucikan diri.
Bulan Ramadhan dianggap bulan paling sakral. Banyak ibadah dan keberkahan di dalamnya. Bagi kami, Ramadhan tidak diterjemahkan sekedar bulan untuk mengejar pahala. Ada syarat-syarat tertentu. Â Semisal rumah, tidak boleh masuk sembarangan. Ada ritual yang perlu dijalani.
Maka, Pebhahoka dijadikan sebagai sarana pembersihan diri. Â Duduk berjama'ah, dan di do'akan oleh tetua kampung. Semua keluarga diharapkan berkumpul. Sanak saudara yang biasanya jauh di perantauan, terkadang hadir untuk sekedar mengikuti upacara ritual ini.
Tidak  ada ritual-ritual  khusus yang dijadikan lelaku. Cuman, momen kebersamaan dalam rumah sangat kental nuansa dengan kekeluargaan pada tradisi ini. Inilah momentum terindah yang tak bisa dilewatkan oleh keluarga.
Seusai ritual, biasanya juga dilakukan ziarah di makam para keluarga yang telah mendahului. Mereka  dido'akan agar diberi keselamatan di akhirat. Dan bagi yang masih hidup, berdoa agar diberi umur panjang. Kelak, Ramadhan tahun depan masih bisa beribadah dan berkumpul bersama keluarga.
Demikinlah. Sangat banyak kekayaan tradisi di negara kita. Banyak nilai yang bisa digali. Harus dijaga, dan dirawat kelestariannya. Jangan dibiarkan hilang begitu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H