BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sejarah adalah modal dasar bagi terbinanya identitas nasional yang merupakan salah satu modal utama dalam membangun bangsa, masa kini maupun diwaktu yang akan datang.Bicara tentang sejarah yakni perkembangan peristiwa yang menyangkut kehidupan di masa lampau dengan berbagai aspeknya, yang mempunyai arti istimewa yakni ikut menentukan jalannya suatu peristiwa sejarah yang juga menjadi perhatian dari para sejarawan. Keterbatasan kemampuan kita dalam mengamati secara langsung peristiwa-peristiwa tersebut dapat kita ketahui masa lampau tersebut dengan bantuan jejak-jejak yang ditinggalkan yang biasa disebut sebagai sumber sejarah.
Padaawalpascakemerdekaan,kebutuhanakanadanya sejarahnasionalsangattinggigunamendukungeksistensi dari negara Indonesia yang baru tertentuk. Namun kemudian setelahbeberapalamadisadaribahwakecenderungan penulisan sejarah yang nasional sentries dapat mengabaikan realitas dinamikasosial yang majemuk,yang ada di masing-masing bagian wilayah republik ini dari timur hingga barat.
Hal initentu saja dapat merugikan bangsa Indonesia sendiri, karenasejarahyangbersifatnasionalkerapmengabaikanmaknabagikomunitastertentu,terutamayangmenyangkutsejarahdilingkungansekitarnya.Lebihjauh,tidakdikenalataudiketahuinyabagian-bagian darisejarahbangsaIndonesia secara lengkap atau detailsangat dimungkinkan, terburuknya adalahadabagian-bagiansejarahdaerahyangluputdariperhatian sebab tidak pernah diungkapkan.Berkaitandengankeadaandiatasadanyaera otonomi daerah sekarang ini dapat mendorong penulisan sejarah lokal lebih semarak, karena memberikan kesempatan pada daerah untuk secara maksimal melakukan penelitian guna menjawab danmenjelaskan pertanyaan-pertanyaanyangmenyangkut masalaludarimasyarakatyangbersangkutan. Dalam makalah ini penulis akan membahas sejarah lokal dan hubungannya dengan sejarah nasional.
B.Rumusan Masalah
1.Apa pengertian sejarah lokal dan sejarah nasional?
2.Apa saja kriteria, kelemahan dan kelebihan sejarah lokal dan sejarah nasional?
3.Bagaimana hubungan sejarah lokal dalam melengkapi sejarah nasional sejarah nasional?
4.Apa fungsi sejarah lokal dan bagaimana kedudukannya dalam sejarah nasional?
C.Tujuan Penulisan
1.Untuk mengetahui pengertian sejarah lokal dan sejarah nasional.
2.Untuk menelusuri kriteria,kelemahan dan kelebihan sejarah lokal dalam sejarah nasional.
3.Untuk mengetahui hubungan sejarah lokal dalam melengkapi sejarah nasional.
4.Untuk memahami fungsi dan kedudukan sejarah lokal dalam sejarah nasional.
BAB II
SEJARAH LOKAL
A. Pengertian Sejarah lokal
Sejarah lokal merupakan sebuah disiplin ilmu, yang harus menunjau aspek-aspek metodologinya. Di lihat dari sifat pendekatan objek dan wujud penggambaan peristiwanya, sejarah lokal juga bersifat tidak seragam. Dalam kenyataannya sejarah lokal bervariasi dari yang bersifat tradisoinal dan bersifat akademik, akan tetapi tergantung dari tujuan, dan latar belakang dari penulisan sejarah lokal itu sendiri.
Sejarah lokal bisa dikatakan sebagai suatu bentuk penulisan sejarah dalam lingkup yang terbatas yang meliputi suatu lokalitas tertentu. Keterbatasan lingkup itu biasanya dikaitkan dengan unsur wilayah (unsur spatial). Di indonesia sejarah lokal bisa disebut pula sebagai sejarah daerah. Sejarah lokal sudah ada dan lama berkembang sebelum ada Sejarah Nasional. Sejarah lokal itu berkaitan dengan kajian tentang asal-usul tempat tinggal (daerah) atau suku bangsa/etnis maupun kebudayaannya.Uraian tentang ini cukup banyak di Indonesia yang termaktub dalam kitab cerita, di antaranya bernama Babad, Riwayat, Hikayat, Tambo dan macam-macam tersebut bisa juga disebut sebagai Sejarah Tradisional.
Masa prasejarah hingga pertengahan awal abad ke-20, penulisan sejarah tidak menunjukkan keindonesiaan, tetapi lebih mencirikan masyarakat yang masih menjunjung tinggi kesukuan (etnisitas) dari pada nasionalitas. Periode panjang itu lebih tepat dinamakan sebagai Sejarah Nusantara.
Masalah anakronisme memang cenderung mengacaukan antara pengujian disiplin ilmu sejarah dengan konsensus. Istilah yang harus ditinjau ulang adalah persoalan jenjang hirarki daerahsecara administratif politik, yang meliputi provinsi, kabupaten, kewedanan, kecamatan, atau desa, atau kelurahan.
Secara historis, desa merupakan salah satu jenjang administratif politik yang telah memiliki akar kesejarahan dan kebudayaan yang cukup beragam di seluruh Indonesia, tetapi sejak Orde Baru melakukan penyeragaman dari desa menjadi kelurahan, maka kekacauan itu semakin bertambah. Desa mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri yang unik danmenarik karena mereka mempunyai karakteristik masyarakatnya berdasarkan latar belakang historisnya.
Jadi, istilah sejarah daerah sebagai sejarah yang wilayahnya dipertentangkan dengan nasional atau pusat telah memberi pengertian bahwa istilah itu ambigu. Untuk menjembatani kekacauan konsensus terhadap unsur ruangatau spatial dalam sejarah lokal, maka ada tiga pengertian, di antaranya : (1) unit administratif politis, (2) unit kesatuan etniskultural, dan (3) daerah administratif politis bisa merupakan kumpulan etniskultural, perlu dipertimbangkan.
1.Unit Administratif Politis
Konsep pertama adalah administratif politis, yang dapat diterima sebagai ruang sejarah lokal apabila penelitian dan penulisan sejarah itu berkaitan dengan sejarah politik yang menyangkut wilayah lokal, seperti provinsi, karesidenan, kabupaten, kawedanan, dan kecamatan, serta kelurahan. Konsep yang pertama bisa juga dilakukan terhadap sejarah masa kini atau sejarah kontemporer.
Sebagai contoh, Banyumas sejak 1831 dibentuk sebagai karesidenan, yang kemudian secara hirarki juga dibentuk kabupaten (regentschappen), kawedanan (distrik), dan kecamatan (onderdistrik). Pembentukan itu mengandung konsekuensi pengadaan jabatan bupati, patih, wadana, kolektur, pangulu, mantripolisi, (asisten wedana), mantra kabupaten, mantri cacar, di kalangan pribumi. Di samping itu, ada jabatan residen dan asisten residen di pihak Belanda. Tentu saja konsep karesidenan sebagai ruang tidak dapat diberlakukan untuk wilayah yang sama sebelum perang Jawa. Banyumas menjadi bagian dari daerah mancanegara kilen Mataram (Kuta Ghede, Plered, Karta, dan Surakarta). Konsep mancanegara kilen lebih tepat dari pada karesidenan Banyumas. Ketika palihan nagari pada1755, Banyumas menjadi daerahmancanegara kilen Surakarta. Negara Daerah paguhan lebih tepat diposisikan sebagai wilayah Majapahit. Wilayah Banyumas pada zaman Demak, sudah berubah dengan kemunculan Pasir dan Wirasaba sebagai Negara daerah, yang disusul Banyumas sebagai Negara Daerah Pajang.Ahli sejarah belum memakai istilah mancanegara kilen pada masa Demak-Pajang.Contoh judul, misalnya, Sejarah Kabupaten Purwakerta (1832-1936) menunjukkan periode kolonial Belanda setelahlepas dari Kasunanan Surakarta dan tidak ada anakronisme.
2.Unit Kesatuan Etniskultural
Konsep yang kedua adalahunit kesatuan etniskultural, yang memang bisa diberlakukan dengan mudah di daerahBanyumas karena pada masa lampau mempunyai identitas masing-masing sebagai kesatuan etniskultural, misalnya, Negara Daerah Paguhan, Kerajaan Pasirluhur, dan Selarong. Ruang Banyumas secara legendaris di nyatakan oleh babad Banyumasversi Mertadiredjan dan babad Pasir dengan ungkapan Tugu Mengangkang Sindara-Sumbing sebagai batas timur dan udhug-udhug Krawang sebagai batas barat. Wilayah itu diklaim oleh Raden Kaduhupada zaman Majapahit dan Pangeran Senaapati Mangkubumin I pada zamanDemak.
Ruang Banyumas yang begitu luas karena belum ada data yang tepat mengenai pembagian wilayah sehingga kadang-kadang para penulis historiografi tradisional menciptakan ruang yang agak semau-maunya untuk kepentingan legitimasi orang-orang lokal. Ada pula konsep ruang Banyumas dengan penyebutan sepanjang Kali Lanang. Kali Lanang adalah Sungai Serayu sebagai symbol kebanyumasan, yang wilayahnya meliputi wilayah yang sama seperti Karesidenan Banyumas. Sepanjang Sungai Seraayu atau Daerah Aliran Sungai serayu merupakan ruang yang rasional untuk menyebut Banyumas masa lampau.
Kemudian, ada konsep Selarong untuk ruang Banyumas. Ruang yang terakhir ini bersentuhan dengan kehadirankota lama Banyumas yang terakhir sebelum dibuka oleh Adipati Warga Utama II atau Adipati Mrapat. Selarong adalah legenda pra-Banyumas sebagai ruang yang berada di suatu wilayah yang dikelilingi bukit dan gunung-gunung kecil.Konsep Selarong identik dengan sangsang buwana(tempat yang di kelilingi bukit) atau kawula katubing kala (masyarakat yang dijauhkan dari malapetaka).
3.Unit Administratif sebagai KumpulanEtniskultural
Konsep yang ketiga adalah unit administratif sebagai kumpulan etniskultural. Konsep yang ketiga ini sering tidak disadari bahwa dalam ruang tertentu terdapat dua atau berbagai etnis. Sejarah kabupaten Dayeuhluhur misalnya, menunjukkan keterkaitan antara clien (local) dengan patron Kasunanan Surakarta. Padahal, masyarakat Dayeuhluhur merupakan masyarakat yang berbasis kebudayaan Sunda. Tokoh nenek moyangnya adalah Banyak Ngampar atau Gagak Ngampar. Gagak Ngamparadalah anak Prabu Silihwangi yang berada di daerah Banyumas, yangada waktu itu disebut Pasir luhur. Penyebutan pasirluhur-Dayeuhluhur merupakan pasangan kakak-beradik yang bertahan di seberang kebudayaannya. Mereka sering di umpamakan sebagai Kasepuhan dan Kanoman. Pada penulisan sejarah kontemporer, di kabupaten seperti Cilacapterdapat sejarahetnis-etnis, baik Jawa maupun Sunda. Kabupaten Cilacap sendiri secara administratif politik baru hadir pada dua pertiga abad ke-19, sedangkan pada masa sebelumnya memang ada kabupaten Majenang dihapuskan tahun 1832 dan Raden Tumenggung Prawiranegara dibuang ke Padang. Majenang digabungkan dengan Kabupaten Ajibarang.
Secara umum sejarah lokal mempunyai dua aspek kesejarahan yaitu, bersifat ‘lisan dan tulisan’. Akan tetapi di Indonesia sendiri studi sejarah lokal tidak bisa lepas dari sumber-sumber sejarah yang berasal dari lisan. Kenyataan ini sempat untuk menulis dan hanya mengingat-ingatnya saja. Ini lah yang menimbulkan bidang studi sejarah lisan (oral story) yang sangat terkait dengan studi sejarah lokal karena banyak objek sejarah lisan terutama peristiwa-peristiwa di suatu lingkungan terbatas atau lokal tertentu.
Tradisi lisan yang meliputi dongeng, legenda dan mitos ini merupakan cerita sejarah sebagai bagian kebudayaan suatu masyarakat. Tradisi penyusunan sejarah tidak bisa dilepaskan dari budaya suatu masyarakat. Menurut Sartono Kartodirjo, penulisan sejarah sebagai salah satu bentuk perwujudan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kultur karena itu senantiasan hidup dan bergerak. Sebagai suatu aspek budaya untuk menjelaskan atau memahami lingkungan sekitar itu, sekaligus sebagai usaha untuk memberi pegangan pada masyarakat terutama generasi berikutnya, maka tradisi lisan berfungsi sebagai alat untuk merekam, menyususn dan menyimpan pengetahuan demi pegajaran dan pewarisnya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tradisi lisan (oral traditian), yaitu berkaitan dengan usaha mengabadikan pengalaman-pengalaman kelompok di masa lampau melalui cerita yang diteruskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Unsur yang terpenting dalam sejarah lisan adalah pesan-pesan verbal yang berupa pernyataan-pernyataan yang pernah dibuat di masa lampau oleh generasi yang hidup sebelum gnerasi yang sekarang ini. Hubungan tradisi lisan adalah menyangkut pesan-pesan yang berupa pernyataan-pernyataan lisan yang diucapkan, dinyanyikan atau disampaikan lewat musik.
Tradisi lisan berasal dari generasi sebelumnya. Peranan tradisi lisan dalam penulisan sejarah local yaitu menghubungkan tradisi lisan dengan keterbatasan-keterbatasan, yang antara lain bersifat anakronisme dari urutan peristiwa, yaitu tidak diperhatikan urutan-urutan waktu terjadi peristiwa secara benar. Waktu hakikatnya hanya untuk menunjukan pergeseran atau peralihan dari satu posisi ke posisi yang lain dalam rangka klasifikasi kosmis. Maka dari itu konsep waktu yang mereka miliki umumnya yang bersifat siklus.
Yang menjadi masalah dalam tradisi lisan ialah penerapan konsep kualitas dalam uraian ceritanya. Beberapa hal positif yang dimiliki tradisi lisan sebagai sumber sejarah. bahwa tradisi lisan sebenarnya memuat informasi yang sangat luas tentang kehidupan suatu komunitas dengan berbagai aspeknya. Dibandingkan dengan tradisi lisan, sumber sejarah tertulis tradisional ini memang lebih menguntungkan bagi sejarawan lokal yang menggunakannya, karena uraiannya dalam bentuk tulisan ,jadi langsung bisa dibaca naskahnya.
Kelebihan dari penelitian sejarah lisan:
a.Pengumpulan data dapat dilakukan dengan adanya komunikasi dari dua arah (antara peneliti dengan tokoh) sehingga jika ada hal yang kurang jelas bisa langsung ditanyakan pada nara sumber.
b.Penulisan sejarah menjadi lebih demokratis (terbuka) karena memungkinkan sejarawan untuk mencari informasi dari semua golongan masyarakat (baik rakyat biasa sampai pejabat)
c. Melengkapi kekurangan data atau informasi yang belum termuat dalam sumber tertulis atau dokumen.
Kekurangan dari Sejarah Lisan:
a.Keterbatasan daya ingat seorang pelaku/saksi sejarah terhadap suatu peristiwa.
b.Memiliki subjektifitas yang tinggi dikarenakan sudut pandang yang berbeda dari masing-masing pelaku dan saksi terhadap sebuah peristiwa. Sehingga mereka akan cenderung memperberbesar peranannya dan menutupi kekurangannya.
B. Tipe-tipe Sejarah Lokal
Dalam tipologi sejarah lokal ini, tentu saja yang menjadi masalah adalah kriteria yang kita gunakan sebagai dasar pengelompokannya.Pengelompokan tipologi sejarah lokal tidak perlu berarti menarik garis tegas di antara berbagai kelompok yang terlibat dalam penulisan sejarah lokal tersebut. Dengan demikian usaha untuk mengembangkan pengertian tipologi sejarah lokal adalah dengan, menumbuhkan saling pengertian di berbagai pihak yang terlibat dalam bidang sejarah lokal ini. Penyusunan tipologi sejarah didasarkan pada tujuan penulisan yang berkaitan dengan latar belakang pendidikan penulis. Penyusunan di Indonesia sendiri di bedakan menjadi 5 jenis penulisan sejarah lokal:
1.Sejarah lokal tradisional
Merupakan hasil penyusunan sejarah dari berbagai kelompok etnik dari seluruh Indonesia yang sudah bersifat tertulis. Sejarah lokal tradisional boleh dikatakan merupakan tipe sejarah lokal yang baru pertama kali muncul di Indonesia. Sifat uraian kitab-kitab tradisional di Indonesia bisa dibandingkan dengan kitab modern karena yang dipentingkan adalah tujuan untuk mengabdikan pengalaman kelompok masyarakat tersebut sesuai dengan alam pikiran masyarakat tersebut.
Penyusun sejarah lokal tradisional ini diduga adalah tokoh-tokoh intektual tradisional yang tidak bisa dibandingkan dengan sejarahwan profesional, karena latar belakang pendidikan yang khusus. Di lain pihak bagi sejarawan lokal modern, sejarah lokal tradisional mempunyai nilai tersendiri bagi sumber sejarah.
2.Sejarah lokal diletantis.
Karakteristik yang menonjol dari tipe sejarah ini adalah tujuan penyusunan umumnya terutama untuk memenuhi rasa estetis individual melalui lukisan peristiwa masa lampau, Maka sejarah lokal dilentatis ini lebih bersifat memenuhi tuntutan keingintahuan pribadi. Kalangan yang mengembangkan diri sebagai sejarawan dilentatis adalah mereka yang terdidik baik tradisional maupun modern di lingkungan masyarakatnya, karena itu mempunyai pandangan yang luas dan mampu membaca sumber-sumber sejarah terutama berupa dokumen, dan melukiskan lukisan sejarah dengan baik. Hanya saja mereka umumnya tidak mendapat pendidikan khusus kesejarahan.
Namun gambaran sejarah lokal yang dihasilkan mereka biasanya bersifat naratif kronologis dengan sedikit bumbu emosional yang mencerminkan patriotisme lokal. Di Amerika tipe ini sangat berkembang, akan tetapi sangat disayangkan di Indonesia tipe ini sangat jarang sehingga para sejarawan dilentatis ini biasanya begerak secara pribadi. Dengan kata lain sejarawan lokal dilentatis ini sedikit banyak berperan membantu sejarahwan profesional dalam usaha untuk membuat analisis lebih lanjut dari sejarah lokal yang sedang mereka susun.
3.Sejarah lokal edukatif inspiratif
Merupakan jenis sejarah yang memang disusun dalam rangka mengembangkan kecintaan sejarah, terutama pada sejarah lingkungan. Penjelasan sejarah lokal di atas tercermin pada kata edukatif dan inspiratif, yang merupakan aspek penting mempelajari aspek sejarah. Yang dimaksud edukatif dari sejarah berarti menyadari makna sejarah sebagai gambaran peristiwa masa lampau yang penuh arti. Yang berarti nilai-nilai sejarah berupa ide maupun konsep-konsep kreatif sebagai sumber motivasi bagi pemecahan masalah masa kini dan merealisasikan masa depan.
4.Sejarah lokal kolonial.
Sejarah lokal kolonial ini mempunyai kategori yang khas pada tipologi sejarah lokal. Karakteristik yang pertama adalah sebagian besar dari penyusunannya oleh para pejabat atau kolonial seperti Residen, Asusten Residen, Kontrolir, atau oleh pejabat pribumi tapi atas dorongan pejabat kolonial Belanda.
Kedua adalah sebagian besar tulisan ini berupa laporan dari pejabat-pejabat kolonial di daerah-daerah, laporan itu bisa berupa memori serah jabatan, atau laporan khusus kepada pemerintah pusat tentang perkembangan yang terjadi.
Sejarah lokal jenis ini memang merupakan hasil studi yang dalam dan bersifat akademis dan bersifat sebagai arsip laporan. Dan tulisannya banyak yang sangat menarik. Pada umumnya ada usaha untuk mengemukakan data yang cermat, meskipun dengan sendirinya ada unsur subyektif atas dasar kepentingan kolonial yang mendasari berbagai macam tulisan itu. Terlepas adanya unsur subyektif semacam itu, secara khusus bisa dikemukakan beberapa unsur uraian yang cukup berbobot.
5.Sejarah lokal kritis analitis
Sifat uraian tipe ini telah menggunakan pendekatan metodologis sejarah yang bersifat ketat. Mulai dari pemilihan objek sejarah sampai konsep dan susunan penulisan laporan. Yang mudah dikenali ialah bahwa pelaksanaan penelitian ini umumnya ditangani oleh sejarawan profesional. Profesional di sini bukan saja dilihat dari latar belakang pendidikan, tetapi juga dari keterampilan di lapangannya.
Taufik Abdullah membedakan empat corak penulisan pada tipe ini karena, dilihat dari fokus serta metodologinya.
a.Corak yang pertama di sebut sebagai, “studi yang di fokuskan pada suatu peristiwa tertentu (studi peristiwa khusus atau disebut ‘evenemental l’evenemental’), seperti contoh tentang pemberontakan petani di Banten 1888, karya Sartono Kartodirdjo. Penulisan semacam ini tidak bersifat ideologis dan filosofis, akan tetapi memberikan gambaran yang jelas mengenai masa silam yang ditopang dengan tradisi akademik. Tulisan semacam ini tidak semata-mata dibuat dalam bentuk kisah, melainkan cenderung bersifat struktural, cenderungholistik. Menggunakan pendekatan ilmu sosiologi, antropologi, ilmu politik dan ilmu-ilmu sosial lainnya.
b.Corak kedua dari tipe ini adalah, “studi yang lebih menekankan pada struktur” sebagai contoh suatukota kecil di Jawa Timur karya Clifford Geertz. Geertz melukiskan bahwakota Mojokuto yang ditelitinya berdiri pada abad ke-19 dijalan dimana perusahaan-perusahaan pertanian mulai beroperasi.Kota ini dapat menjadi contoh bagi banyak kota di ujung Jawa Timur,yang merupakan wilayah frontier yang baru dibuka bersamaan dengan pembukaan perkebunan.Penduduk kota-kota itu adalah migran dari tempat-tempat lain yang tenaga kerjanya mengalami tekanan karena Tanam Paksa.
c.Corak ketiga adalah “studi yang mengambil perkembangan tertentu dalam kurun waktu tertentu (studi tematis) dari masa ke masa”. Di sini ditekankan pada pembahasan suatu aspek dan proses sosial tertentu yang kemudian dicarikan penjelasan dan kaitannya pada struktur yang lebih luas yang dianggap sebagai pangkal bagi aspek serta proses sosial yang teliti. Seperti contoh : studi Mitzue Nakamura tentang sejarah sosial kota Gede di Yogyakarta. Ini termasuk sejarah keluarga. Dengan melacak sebuah keluarga yang banyak anggotanya dan dalam waktu yang relatif panjang, setidaknya kita perlu berharap menjangkau empat generasi. Dengan empat generasi itu kita akan dapat gambaran mengenai kota Gede, terutama soal bagaimana orang tumbuh.
d.Corak keempat adalah, “studi sejarah umum, yang menguraikan perkembangan daerah tertentu (provinsi, kota, kabupaten) dari masa ke masa”. Sifat populer dari sejarah lokal jenis ini ialah ditunjukan dengan corak uraian yang kronoligis. Maka studi sejarah lokal jenis ini memang lebih cocok dimasukan dalam kategori edukatif inspratif.
Contoh William H Frederick melakukan penulisan kembali mengenai Sejarah Indonesia yang berjudul Pandangan Dan Gejolak; Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946).
Pada pemaparan dijelaskan mengenai keberadaan kelas, golongan, peran pemuda, sistem ekonomi, pemerintahan, perebutan kekuasaan yang terlihat pada kedatangan Belanda pasca kemerdekaan Indonesia dengan membonceng tentara Inggris. Seluruh aspek yang menyangkut tatanan kehidupan diuraikan pada buku ini, namun demikian diantara hal yang diuraikan respons masyarakat Surabaya atas kemerdekaan Indonesia lah yang merupakan bagian terpenting. Dimana semangat kemerdekaan yang ada kemudian akan terwujud pada peristiwa 10 Nopember yang sampai saat ini dikenal sebagai Hari Pahlawan. Adapun hal yang menjadikan semangat masyarakat Surabaya berkobar-kobar karena kaum terpelajar Surabaya menekankan bahwa tanggung jawab atas kemerdekaan itu sangatlah berat.Pada masa itu terdapat golongan kampung Surabaya yang melawan perusahaan Belanda. Adapun golongan tersebut ada yang berprofesi sebagai buruh kereta api, kuli pelabuhan dan sebagainya. Bahkan pada tahun 1931 terjadi kerusuhan besar di kampung karena terdapat pertentangan dengan pemerintah.
Demikianlah beberapa tipe sejarah lokal yang berkembang di Indonesia. Dan harus di sadari, dari semua jenis tipologi ini hanyalah sekedar usaha untuk memberikan gambaran kategori umum dari seluruh kegiatan sejarah lokal di Indonesia. Hal lain yang harus disadari pula dalam hubungan dengan tipologi yang dikemukakan tersebut tidak ada maksud untuk perumusan klasifikasi untuk menyatakan bahwa lima tipe sejarah lokal itu menggambarkan sepenuhnya tahap-tahap perkembangan sejarah lokal di Indonesia. Maka tujuan utama dari usaha membuat tipologi sejarah lokal ialah untuk menunjukan posisi dari pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan sejarah lokal.
C. Kekurangan dan kelebihan Sejarah Lokal
Kebanyakan penulisan sejarah lokal, sekedar menuliskan untuk memberikan informasi tentang asal usul daerahnya, yang terkadang prinsip penulisan dengan menggunakan sumber yang sesuai sering diabaikan. Tradisi penulisan sejarah local dengan tekanan pada daerah-daerah tertentu masih berlanjut sampai sekarang. Tradisi penulisan tersebut disebut dengan nama karya sejarah amatiran oleh kalangan sejarahwan profesional dianggap kurang bermutu dilihat dari disiplin ilmu sejarah. Dikarenakan penulisan sejarah mereka tersebutmerupakan hasil belajar sendiri yang dengan mudah mencampuradukan antara fakta dan fiksi dengan cerita bikinan. Sejarawan amatir ini pun dikritik namun karya-karya mereka bukan tidak diperhatikan bahkan diusahakan untuk ditingkatkan. Ini berarti karya-karya para sejarawan amatir ini tidak perlu dipermasahlan dan dipandang merusak penulisan sejarah.
Para sejarawan amatir telah memberikan sumbangsih kepada kita karena karya-karya mereka dibuat tidak monoton, mereka banyak mengangkat unsur kedaerahan bahkan sampai kepada unsur kedaerahan yang kuno. Di Amerika ada sebuah komunitas yang namanya Local Historical Society merupakan kelompok pecinta sejarah lokal, mereka tersebar luas di berbagai daerah di Amerika Serikat. Namun di sini para sejarawan profesional perlu mengadakan bimbingan terhadap para amatir ini. Meskipun keduanya berbeda dalam latar belakang pendidikan ataupun minat kerja yang menyangkut masalah pencarian sumber serta interpetasinya. Semestinya tidak perlu terjadi adanya jurang pemisah antara apa yang disebut dengan kolompok sejarawan Profesional dan yang amatir. Karena pada dasarnya sejarah itu berawal dari sejarah lokal yang disini para amaturis sangatlah berperan.
Penelitian tentang sejarah lokal, kita tidak hanya memperkaya pembendaharaan sejarah Nasional, tapi lebih penting lagi memperdalam pengetahuan kita tentang dinamika sosiokultural dari masyarakat Indonesia yang majemuk ini secara lebih mendalam. Dengan begini kita makin menyadari pula bahwa ada berbagai corak penghadapan manusia dengan lingkungannya dan dengan sejarahnya. Selanjutnya pengenalan yang memperdalam pula kesadaran sejarah Kita. Dengan demikian terdapat kemungkinan untuk mendapatkan makna dari berbagai peristiwa sejarah yang dilalui.Di bawah ini merupakan arti penting dari sejarah lokal di antaranya :
a.Pengembangan sejarah yang bersifat nasional seperti sekarang ini, sering kurang memberi makna bagi orang-orang tertentu terutama yang menyangkut sejarah daerahnya sendiri. Banyak sejarah nasional tidak menggali lebih mendalam tentang suatu kajiannya, biasanya bersifat umum saja. Oleh karenanya sejarah daerah kita sendiri terkadang luput dari pengetahuan kita. Selain itu juga sejarah lokal juga bisa diguankan untuk mengoreksi generalisasi-generalisasi dari Sejarah nasional.
b.Sejarah lokal dibuat sengaja, dibuat untuk orang-orang dari zaman kemudian dari hidup pembuatnya. Sebagai sorotan berikutnya dari Sejarah lokal yaitu lingkungan studi Sejarah sebagai kritik sejarah. Kritik sejarah ini biasa dibedakan menjadi dua yaitu Kritik ekstern dan kritik Intern. Mengenai kritik intern, secara teoritis langkah ini baru baru dilaksanakan sesudah kritik ekstern selesai menentukan bahwa dokumen yang kita hadapai memang dokumen yang kita cari, yang bukan saja berarti relevan dengan topik yang sedang disusun, tapi lebih penting lagi bahwa sumber-sumber itu adalah sumber yang autentik. Dari sana kita bisa melihat bahwa dengan kritik sejarah jejak-jejak sejarah itu kemudian dapat diwujudkan sebagai fakta sejarah, yaitu sesudah jejak-jejak itu lolos dari pengujian kritis. Dengan demikin fakta Sejarah itu sebenarnya adalah keterangan atau kesimpulan yang kita peroleh dari jejak-jejak sejarah setelah disaring atau diuji kebenarannya melalui kritik sejarah.
Sejarah lokal mempelajari manusia lebih mendetail. Tidak hanya manusia yang berperan sebagai tokoh sentral/besar dalam sebuah peristiwa namun juga manusia dengan setiap dinamika kehidupannya. Sejarah lokal di negara Barat penggunaan istilah sejarah lokal (local history) dikenal pula sebagai neighborhood history atau community history. Diartikan sebagai “the entire range of possibilities in a person’s immediate environment”. Pembatasan tidak hanya dari ruang lingkup spasial atau keruangan seperti desa, kota, kabupaten, dan provinsi namun juga pranata-pranata sosial serta unit-unit budaya yang ada di lingkungan tersebut. Unsur sosial dan budaya tersebut seperti keluarga, pola pemukiman, mobilitas sosial, pasar, teknologi pertanian, lembaga pemerintahan setempat. Sejarah lokal sebagai studi tentang kehidupan masyarakat atau komunitas khusus dari sebuah lingkungan tertentu dalam dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
BAB III
HUBUNGAN SEJARAH LOKAL DENGAN SEJARAH NASIONAL
A.Pengertian Sejarah Nasional
Sejarah nasional digunakan sebagai suatu konsep resmi negara. Sejarah nasional lebih bersifat konsepsi umum yang mendukung penanaman nilai nasionalisme, biasanya merupakan hal-hal lokal yang dianggap memiliki pengaruh secara nasional dan kebangsaan.
Sejarah nasional Indonesia terpusat kajiannya di pulau Jawa. Penempatan kerajaan Majapahit sebagai titik awal dari nasionalisme dan terpusatnya kekuasaan kolonial di pulau Jawa menjadi kajian sejarah nasional lebih dominan terjadi di pulai tersebut. Sementara sejarah-sejarah lainnya di daerah (terutama diluar pulau Jawa) dianggap sebagai sejarah lokal atau sejarah daerah.
Polemik antara sejarah nasional dan sejarah lokal, penulisan sejarah nasional didominasi oleh kajian sejarah politik sehingga menyebabkan masyarakat kecil tidak mendapatkan tempat dalam narasi sejarah.Penulisan sejarah yang sangat politis berkosekuensi juga pada upaya generalisasi terhadap konten sejarah. Dampak dari pendekatan politik juga bisa dilihat dari materi sejarah berisi baik-buruk dan benar salah. Dengan kata narasi sejarah hanya akan melihat pada dua sisi nilai tersebut saja.Yang baik akan selalu ditonjolkan sementara yang buruk ditinggalkan atau paling tidak dinarasikan secara negatif.
Sebagai contoh, penulisan sejarah pemberontakan di Indonesia yang menempatkan posisi pemberontak pihak yang tertuduh dan pemerintah sebagai pihak yang selalu benar. Dalam kasus pemberontakan DI/TII Aceh tahun 1953, terjadi pembantaian dan kekerasan oleh pihak militer terhadap masyarakat Cot pulot dan Desa Jeumpa di Aceh Besar yang dilakukan oleh Batalyon 142 dari Sumatera Barat anak buah Mayor Sjuib, pasukan ini dibawah batalyon B pimpinan Kolonel Simbolon. Penembakan pertama pada Sabtu, 26 Februari 1955 terhadap 25 petani di Cot Pulot. Penembakan kedua pada Senin, 28 Februari 1955 64 nelayan di Jeumpa. Penembakan ketiga pada tanggal 4 Maret 1955 di Kruengkala menewaskan 99 jiwa dengan rincian di Cot Jeumpa 25 jiwa, di Pulot Leupung 64 dan Kruengkala 10 jiwa. Usia termuda yang wafat yakni 11 tahun dan paling tua berusia 100 tahun. Pembantaian ini sebagai balas dendam terhadap rekan-rekannya yang ditembak oleh tentara Darul Islam.Cerita seperti ini sama sekali tidak tercatat dalam sejarah nasional Indonesia karena mungkin dianggap akan mencoreng nama baik negara oleh sebab pelanggaran alat negara terhadap rakyatnya. Namun di sisi lain nasib rakyat sebagai korban sama sekali tidak diperhatikan dan diabaikan. Pola penulisan politik seperti sarat dengan kepentingan pemerintah dan rezim yang berkuasa. Ironinya, kepentingan tersebut dibalut dengan rasa nasionalisme dan alasan kepentingan negara.
Pengembangan sejarah nasional sekarang ini sering kurang memberi makna bagi orang-orang tertentu terutama sejarah daerahnya sendiri. Banyak sejarah nasional tidak dapat menggali lebih mendalam tentang kajiannya dan bersifat umum saja. Sejarah daerah kita sendiri terkadang luput dari pengetahuan kita dan sejarah lokal juga bisa digunakan untuk mengoreksi generalisasi-generalisasi dari Sejarah nasional. Sejarah lokal sengaja dibuat untuk orang-orang dari zaman kemudian dari hidup pembuatnya.
B.Sejarah Lokal dalam Melengkapi Sejarah Nasional
Sejarah lokal seringkali dipahami sebagai bagian dari sejarah nasional. Hal ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa studi sejarah lokal diperlukan untuk mencari bahan sebagai penyusun nasional yang akhirnya hanya menghasilkan sejarah nasional versi lokal. Realitas yang muncul di daerah-daerah dapat berubah, sehingga kadang-kadang peristiwa nasional yang penting dalam kategori sejarah nasional bisa saja tidak memiliki arti apa-apa pada sejarah lokal. Sejarah nasional ditentukan oleh faktor-faktor ekstra lokal, bukan sekedar kumpulan-kumpulan peristiwa local, atau peristiwa lokal yang strategis namun juga tergantung pada kekuatan politik saat itu dan faktor internasional. Penyusunan sejarah nasional tidak hanya sekedar berdasarkan “pantas tidaknya” peristiwa untuk menjadi unsur dari sejarah nasional, namun juga berdasarkan logika keterkaitan peristiwa tersebut dengan latar belakang yang berlaku secara nasional.
Sejarah lokal dapat melengkapi sejarah nasional, karena sejarah nasional hanya membicarakan sesuatu secara umum sehingga sifatnya terbatas. Sejarah lokal memberikan detail sehingga mampu melengkapi kekurangan sejarah nasional. Misalkan sejarah nasional membicarakan proklamasi 1945, pasti hanya membicarakan kisah di Jakarta. Hal ikhwal proklamasi di daerah/lokal akan menjadi fungsi pelengkap sejarah nasional. Hasil studi khusus pada sejarah lokal akan memberikan pengetahuan lebih umum terhadap kejadian-kejadian historis di tingkat lokal yang merupakan dimensi sejarah nasional.
Untuk menggambarkan contoh hubungan sejarah lokal dengan sejarah nasional, penulis mengangkat daerah Jawa Barat yang sungguh kaya akan peristiwa sejarah dari masa ke masa, baik yang bersifat lokal maupun nasional. Sejak masa kerajaan hingga kini, di daerah Jawa Barat terjadi berbagai peristiwa sejarah penting yang mengandung berbagai makna pula, sesuai dengan gejolak jamannya. Peristiwa atau moment penting itu di antaranya adalah Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5 hingga abad ke-8), Kerajaan Sunda/Pajajaran (abad ke-8 hingga abad ke-16), Kerajaan Galuh (abad ke-8 hingga abad ke-15), dan Kerajaan Sumedang Larang (1580-1620).
Pada awal masa kerajaan, daerah Jawa Barat masuk pengaruh budaya Hindu-Budha. Sementara itu muncul Kesultanan Cirebon (1479-1809) dan Kesultanan Banten (1552-1832). Dengan berdirinya kedua kesultanan itu, Jawa Barat menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Pada abad ke-17, sebagian wilayah Jawa Barat, khususnya daerah Priangan berada di bawah pengaruh kekuasaan Mataram (1620-1677). Selanjutnya Jawa Barat semakin memiliki arti penting karena menjadi pusat kegiatan/kekuasaan kolonial Belanda di Nusantara, yaitu pusat kegiatan Kompeni/VOC (abad ke-17 hingga akhir abad ke-18) dan pusat pemerintahan Hindia Belanda (awal abad ke-19 hingga Maret 1942) serta pusat pemerintahan Pendudukan Jepang di Jawa (awal Maret 1942 hingga pertengahan Agustus 1945).
Pada awal abad ke-20 hingga menjelang proklamasi kemerdekaan, Jawa Barat juga menjadi pusat kegiatan pergerakan nasional, sehingga bangsa Indonesia berhasil menetuskan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Peristiwa yang disebut terakhir juga terjadi di daerah Jawa Barat. Dalam perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan, Jawa Barat menjadi pusat perjuangan, sekaligus sebagai pusat kegiatan Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka mengisi kemerdekaan dengan berbagai program pembangunan. Dalam setiap kurun waktu tersebut, banyak peristiwa sejarah yang memiliki arti penting, baik bagi masyarakat dan daerah Jawa Barat khususnya maupun bagi kepentinan nasional bangsa dan pemerintah Indonesia pada umumnya.Bahkan dalam masa tertentu di Jawa Barat terjadi peristiwa sejarah yang berskala internasional, misalnya Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.
Berdasarkan ruang lingkup spasialnya, sejarah Jawa Barat termasuk kategori sejarah lokal. Namun demikian, studi sejarah lokal penting artinya bagi suatu bangsa seperti Indonesia yang menekankan pentingnya persatuan dan kesatuan. Untuk mengetahui kesatuan yang lebih besar, bagian yang lebih kecil jangan diabaikan, melainkan harus dimengerti dengan baik. Seringkali hal-hal yang ada/terjadi di tingkat nasional baru dapat dimengerti dengan lebih baik apabila perkembangan di tingkat lokal dipahami dengan baik pula. Hal-hal di tingkat yang lebih luas (nasional) biasanya hanya memberikan gambaran dari pola-pola serta masalah umum, sedangkan situasinya yang lebih konkret dan mendalam baru dapat diketahui melalui gambaran sejarah lokal.
Dengan kata lain, studi sejarah Jawa Barat bukan hanya penting artinya bagi kelengkapan sejarah nasional, tetapi penting pula untuk memperdalam pengetahuan tentang dinamika sosiokultural masyarakat yang bersangkutan. Dalam pada itu, selain peran keilmuannya, kajian sejarah lokal seperti sejarah Jawa Barat memiliki arti praktis bagi pembangunan, baik pembangunan daerah maupun pembangunan nasional, termasuk pembangunan bidang budaya dalam arti luas. Untuk keperluan itu, pemahaman akan berbagai jenis sumber sejarah Jawa Barat dan sikap kritis terhadapnya, mutlak diperlukan.
C. Fungsi Sejarah Lokal Sebagai Dimensi Mikro Terhadap Sejarah Nasional
Dalam studi sejarah, salah satu masalah yang dihadapi sejarawan ialah penentuan kesatuan kerangka peristiwa yang menjadi pusat perhatiannya dalam melihat proses persambungan peristiwa-peristiwa. Dalam hubungan ini dikenal istilah unit-unit sejarah. Sejarawan perlu menentukan batas-batas yang akan memungkinkan mereka membatasi ruang lingkup kegiatannya. Misalnya membedakan antara yang disebut kejadian historis dengan kejadian non-historis. Cara yang lain yang juga bisa dijadikan dasar kategorisasi peristiwasejarah, yaitu melihat peristiwa-peristiwa itu dalam rangka apa yang disebut sebagai “unit sejarah”. Yang penting dalam kategorisasi peristiwa sejarah adalah adanya kerangka kesatuan yang di dalamnya mengandung pola-pola dari fakta-fakta yang berada dalam satu kerangka tersebut, di dalamnya juga mengandung aspek kesatuan temporal serta kesatuan spatial dari rangkaian peristiwanya. Dengan demikian, unit-unit historis itu terwujud dari berbagai kategori yangmenyebabkan adanya variasi lingkup sejarah.Sejarawan Inggris, A.J Toynbee meskipun mengakui adanya unit historisyang merupakan kesatuan negara dan bangsa, tapi lebih cenderung pada unithistoris makro. Sebaliknya kelompok sejarawan praktis lebih melihat kesatuan lapangan studi sejarah yang bisa dipahami itu berada pada lingkungan sejarah mikro.
Keterkaitan antara sejarah lokal dengan sejarah nasional tidak dapat dikatakan bahwa kumpulan-kumpulan dari sejarah lokal itu dapat diartikan sejarah nasional. Karena sejarah lokal sebagai penyempurnakan sejarah nasional dan memberi hubungan timbal balik.
Terdapat pula kelemahan umum terjadi dalam beberapa tulisan tentang sejarah Jawa Barat, pada sifat uraian yang kurang memberikan eksplanasi tentang makna peristiwa. Salah satu contoh kesalahan pemilihan topik adalah tulisan berjudul Prabu Siliwangi. Topik itu dikatakan salah, karena Prabu Siliwangi bukan tokoh sejarah melainkan tokoh mitos (tokoh sastra). Kasus ini juga menunjukkan kesalahan interpretasi, verifikasi, dan penulisan. Campuraduknya antara sejarah dengan mitos memang merupakan gejala umum di kalangan masyarakat. Mungkin hal itu terjadi karena mereka (rakyat) banyak mengetahui cerita yang mirip sejarah dari sumber berupa babad atau wawacan. Hal ini menunjukkan lemahnya pemahaman akan pengertian sejarah.
Contoh lain dari kelemahan pengumpulan sumber dan kesalahan interpretasi serta lemahnya kesadaran sejarah, terjadi dalam sejarah kabupaten yang menari hari jadi kabupaten yang bersangkutan, misalnya Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung. Kabupaten Sumedang memilih hari jadinya tanggal 22 April 1578. Hal ini berarti kabupaten itu berdiri pada akhir masa Kerajaan Sunda/Pajajaran, padahal fakta sejarah menunjukkan bahwa Kabupaten Sumedang berdiri jauh setelah Kerajaan Sunda/Pajajaran runtuh (1580). Berdasarkan pengertian kabupaten atau secara administratif, Kabupaten Sumedang berdiri kira-kira tahun 1620, dibentuk oleh Sultan Agung, penguasa Mataram (1613-1645) dalam usahanya menguasai daerah Priangan. Kabupaten Bandung pun dibentuk oleh Sultan Agung berdasarkan piagam bertanggal 9 Muharam Tahun Alip. F. de Haan dalam bukunya berjudul Priangan; De Preanger Regentshappen Onder het Nederlandsch Bestuur Tot 1811, jilid III (1912) menafsirkan tanggal piagam itu bertepatan dengan tanggal 20 April 1641. Tanggal inilah yang dipilih sebagai hari jadi Kabupaten Bandung. Kasus ini merupakan kelemahan dalam pengumpulan dan penggunaan sumber, karena ternyata ada sumber lain yang memuat tafsiran lain terhadap tanggal piagam tersebut, yaitu tanggal 16 Juli 1633.
Seperti yang sudah diketahui bahwa sejarah lokal merupakan bagian sejarah yang bersifat mikro sedangkan untuk sejarah nasional sendiri bersifat makro. Yang mana sejarah nasional lebih bersifat konsepsi umum yang mendukung penanaman nilai nasionalisme. Dan untuk sejarah lokal sebagai mikro dapat memberikan bantuan dalam kajian sejarah nasional yang membicarakan sesuatu secara umum.
Hubungan erat keduanya dalam sejarah bisa pula dilihat dalam hubungan studi sejarah di Indonesia. Menurut Kartodirdjo bahwa banyak peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat lokal, sebenarnya hanya bisa dimengerti dengan baik apabila dihubungan dengan dimensi sejarah nasional. Menurutnya sebagai contoh yaitu hal-hal yang dibawa oleh proses westernisasi seperti diperkenalkannya sistem pajak, sewa tanah, birokrasi modern yang membawa fenomena baru dalam kehidupan penduduk pedesaan.
Dan dapat disimpulkan bahwa dalam sejarah nasional lebih ditekankan pada gambaran yang lebih meluas serta lebih menyeluruh dari suatu lingkungan bangsa yang bersifat umum dengan tidak terlalu memperhatikan hal-hal kecil dalam peristiwa lokal, sedangkan dalam sejarah lokal yang lebih diperhatikan adalah peristiwa-peristiwa di lingkungan sekitar yang mencangkup suatu lokalitas dan menempatkan sejarah nasional sebagai latar belakang dari peristiwa-peristiwa khusus di lokalitas tersebut. Dengan demikian sejarah nasional yang hanya membicarakan sesuatu secara umum dan sifatnya terbatas. Sejarah Lokal memberikan detail sehingga mampu melengkapi kekurangan sejarah nasional.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengembangan sejarah nasional sekarang ini sering kurang memberi makna bagi orang-orang tertentu terutama sejarah daerahnya sendiri. Banyak sejarah nasional tidak dapat menggali lebih mendalam tentang kajiannya dan bersifat umum saja. Sejarah daerah kita sendiri terkadang luput dari pengetahuan kita dan sejarah lokal juga bisa digunakan untuk mengoreksi generalisasi-generalisasi dari Sejarah nasional. Sejarah lokal sengaja dibuat untuk orang-orang dari zaman kemudian dari hidup penulisnya.
Antara sejarah lokal dan Nasional sangatlah berhubungan. Dengan melakukan penelitian tentang sejarah lokal, kita tidak hanya memperkaya pembendaharaan sejarah Nasional tetapi lebih penting lagi memperdalam pengetahuan kita tentang dinamika sosiokultural dari masyarakat Indonesia yang majemuk ini secara lebih intim. Dengan ini kita makin menyadari berbagai corak penghadapan manusia dengan lingkungannya dan dengan sejarahnya serta memperdalam pula kesadaran sejarah kita untuk mendapatkan makna dari berbagai peristiwa sejarah yang dilalui.
Sejarah lokal menjadi semakin kurang terlokasikan. Sejarah lokal bersifat melebar, horizonnya semakin mengembang menuju ke arah perbandingan-perbandingan yang meluas. Bahwa dalam sejarah nasional tekanan terutama diberikan pada gambaran yang lebih meluas serta menyeluruh dari suatu lingkungan bangsa dengan tidak terlalu memperhatikan detail-detail peristiwa lokal. Sedangkan dalam sejarah lokal yang mendapat perhatian utama justru peristiwa-peristiwa dilingkungan sekitar suatu lokalitas sebagai suatu kebulatan, dan menempatkan sejarah nasional sebagai latar belakang dari peristiwa khusus di lokalitas.
Sejarah lokaldijadikan sebagai alat koreksi terhadap generalisasi-generalisasi yang sering dibuat dalam penulisan sejarah nasional. Banyaknya ketumpang tindihan pengertian dan pemahaman mengenai sejarah nasional dan sejarah lokal. Tidak semua peristiwa atau perubahan yang digeneralisir/dianggap menjadi fakta nasional yang berlaku bagi semua wilayah Indonesia.
Masa kini adalah kesinambungan dari masa lampau dan masa depan adalah kesinambungan dari masa sekarang. Sejarah sebagai sumber inspirasi dan sumber informasi yang terperaya sangat dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat dalam rangka menemukan dan memupuk jati diri bangsa, untuk mampu merancang dan mempersiapkan kehidupan di masa mendatang yang lebih baik. Inilah makna hakiki yang diajarkan oleh sejarah.
B. Saran
Sebelumnyasejarahlokalkurang mendapatperhatiandariberbagaipihak,mungkinini berhubungandengansemangatpersatuan-kesatuan Indonesiayangdiperjuangkansejaklama(kemerdekaan sebagaibangsadannegaraIndonesia).”Kebangkitan” kembalidarisejarahlokaliniharusdisikapidenganarif sebagai salah satu bidang kajian sejarah biasa, bukan untuk menonjolkan dinamikakelokalan semata.
Meskipun menulis sejarah lokal adalah hak siapa saja dan dapat ditulis kapansaja,namuntampaknyaperhatiandari pemerintahdaerahsangatditunggu.Dalamhaliniyangdilihatadalah adanya kesempatan dan dukungan dari pemerintah setempatyangtidakhanyasebatasbantuan dana.Kewenanganyangdimilikipemerintah dapatmenjembatani kerjasamaantaraberbagaipihaksepertipendidik,museum,perguruantinggimaupun pencipta sejarah lokal. Kenyataannyakesempatanini belumdimanfaatkan secaraoptimal,sehinggapenulisansejarahlokalbelum mengalamiperkembangan yang signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
vAbdullah, Taufik dan Abdurrahman Surjomihardjo, Arah Gejala dan Perspektif Studi Sejarah Indonesia, dalam Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomihardjo (Red), Ilmu Sejarah dan Historiografi; Arah dan Perspektif, Gramedia: Jakarta, 1985
vAli, Mohammad, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Lkis Pelangi Angkasa, 2005
vAtmodjo, K. Sukarto M.M., Menelusuri Sejarah Cikal Bakal Hari Jadi Cilacap berdasarkan Data Prasasti Kuno, 1990
vGeertz, Clifford, The Interpretation Of Cultries, Yogyakarta: Kanisius, 1992
vDe Graaf, H. J., Awal Kebangkitan Mataram; Masa Pemerintahan Senapati,(Jakarta, Grafiti Pers,1985) cetakan I
vDe Graaf, H. J., Puncak Kekuasaan Mataram : Politik Ekspansi Sultan Agung, (Jakarta: Grafiti Pers,1986) cetakan I
vFrick, Heinz,Pola Struktural dan Teknil bangunan di Indonesia: Suatu Pendekatan Arsitektur Indonesia melalui Patten Language secara Konstruktif dengan Contoh Arsitektur Jawa Tengah.Yogyakarta: Kanisius, 1997
vWilliam, Frederick, H., (Diindonesiakan Oleh Hermawan Sulistyo). Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946), Jakarta: Gramedia, 1989
vKartodirdjo, Sartono, Pemberontakan Petani di Banten 1888, Kondisi, Jalannya peristiwa dan Kelanjutannya, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984
vKuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula; Surakarta, 1900-1915. Yogyakarta: Ombak, 2004)
vMuljana, Slamet Prof Dr., Runtuhnja Keradjaan Hindu – Djawa dan Timbulnja Negara -negara Islam di Nusantara(Djakarta: Bhrata, 1968)
vNakamura, Mitsuo, The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, Banu Amir dari kota Gede, 1910-1990(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983
vPriyadi, Sugeng. 2012. Sejarah Lokal Konsep, Metode dan Tantangannya. Yogyakarta: Ombak.
vSmith, Linda Tuhiwai, Dekolonisasi Metodologi, Yogyakarta: Insist Press, 2005
vWidja, I Gde. Sejarah Lokal Sebuah Perspektif dalam Pengajaran Sejarah ,Bandung: Angkasas, 1991.
Sumber Pendukung:
ØKasman Surawidjaja, Babad lan Sedjarah Banjumas, (Purwokerto, 1959), Koleksi Pribadi Bapak Soedarmadji.
ØNaskah Tedakan Serat Yudanegara, hlm 121, yang terdapat di Museum Sena Budaya 69, Yogyakarta
ØNaskah Lor. 7718 berjudul History of Wirasaba Banyumas.
Øhttp://acehdalamsejarah.blogspot.com
Babad: karya historiografi tradisional dari masyarakat Jawa dan Sunda, yang mengandung unsur dongeng, legenda, dan mitos. Riwayat: cerita turun temurun. Tambo: uraian sejarah suatu daerah yg sering kali bercampur dengan dongeng, misalnya Sejarah Minangkabau dengan Bengkulu. Hikayat: karya sastra lama Melayu berbentuk prosa yg berisi cerita, undang-undang, dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan sifat-sifat itu, dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat juang, atau sekadar untuk meramaikan pesta, misalnya,Hang Tuah, Perang Palembang, Seribu Satu Malam. Mohammad Ali. Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Lkis Pelangi Angkasa, 2005) Hlm. 155.
Sumber ini diperoleh dari Tedakan Serat Yudanegara, hlm 121, yang terdapat di Museum Sena Budaya 69, Yogyakarta. Merupakan kompilasi Babad Banyumas dan Danureja V, Patih Dalem Kesultanan Yogyakarta, 1847-1879, dilatinkan dari huruf Jawa oleh Raden Tanaya disebut sebagai Serat Yudanagaran.Dan bisa ditelusuri juga dalam karya Dr. H. J. de Graaf, Awal Kebangkitan Mataram; Masa Pemerintahan Senapati,(Jakarta, Grafiti Pers,1985) cetakan I,hlm. 73-74. Sumber ini juga diunduh dari http://maskurmambangr.wordpress.com/asal-mula-wong-banyumas/ pada 21 Nov 13 pukul 23.45.
Sumber diperoleh dari Kasman Surawidjaja, Babad lan Sedjarah Banjumas, (Purwokerto, 1959), hlm 162, Koleksi Pribadi Bapak Soedarmadji.
Bisa ditelusuri dari Naskah Lor. 7718 berjudul History of Wirasaba Banyumas. Teks dilengkapi dengan ringkasan dan daftar pupuh.Ini merupakan naskah dari Snouck Hurgronje tahun 1936.
Slamet Muljana, Prof Dr., Runtuhnja Keradjaan Hindu – Djawa dan Timbulnja Negara -negara Islam di Nusantara(Djakarta: Bhrata, 1968) hlm. 16 dan 191.
Sangsang buwono ini akan memberikan kepada penghuninya sikap yang selalu dicintai dan dikasihi para tetangga. Lebih lengkapnya bisa ditelusuri dalam karya Heinz Frick, Pola Struktural dan Teknil bangunan di Indonesia: Suatu Pendekatan Arsitektur Indonesia melalui Patten Language secara Konstruktif dengan Contoh Arsitektur Jawa Tengah (Yogyakarta: Kanisius, 1997) hlm. 94.
Dalam dunia kepriyayian ada stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial ini dijaga dan dilestarikan juga dalam simbol-simbol budaya. Simbol-simbol itu di antaranya adalah jumlah kewajiban sembah, pakaian, bahasa, dan tempat duduk kala beraudiensi dengan raja. Lebih lengkapnya dapat ditelusuri dalam karangan Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula; Surakarta, 1900-1915 (Yogyakarta: Ombak, 2004)
Sarahsehan Sehari dalam Makalah karya Sukarto K. Atmodjo, M.M., Menelusuri Sejarah Cikal Bakal Hari Jadi Cilacap berdasarkan Data Prasasti Kuno, 1990, hlm. 18-19 dan 50-51.
De Graaf, Dr. H. J., Puncak Kekuasaan Mataram : Politik Ekspansi Sultan Agung, (Jakarta: Grafiti Pers,1986) cetakan I, hlm 9-11. Karya terjemahan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia.
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, (Jakarta: Gramedia, 1987) Jilid 1. hlm.174.