Seperti mustahil membayangkan hal yang demikian terjadi di negeri yang tanahnya tanah surga, yang lautnya kolam susu. Tetapi mungkin justru inilah gambaran yang senyata-nyatanya tentang Indonesia. Kenyataan sering kali tak seindah yang ada dalam angan atau seagung yang tertuang dalam kata, dan Indonesia mungkin adalah negeri yang hanya indah dalam kata. Negeri yang demikian kaya raya, ternyata tak mampu menjamin kemakmuran rakyatnya. Mungkin benar ia semata dongeng dan sekadar mimpi.
Di mana sesungguhnya letak kekeliruan berada?
Menemukan bahwa karakter Indonesia adalah negara agraris, dahulu pembangunan berbasis pertanian pernah dicanangkan, membuat Indonesia pernah mencapai swasembada pangan pada tahun 1984. Namun, sebelum pembangunan ini terlaksana secara maksimal, Indonesia justru berganti haluan ke basis industri. (Ekonomi Pancasila, 2004) Bila Soekarno sebagai pendiri negara ini berusaha menumbuhkan mental bangsa yang mandiri dan berdikari, pemerintah Orde Baru justru membuka Indonesia pada budaya global melalui usaha modernisasi secara fisik (Bourchier, 2007), menjual mimpi liberalisme yang serba mutakhir, demokratis, indah dan mewah.
Label ‘FOR SALE’ telah ditempelkan pada Indonesia sejak Konferensi Jenewa tahun 1967, di mana berbagai negara berkumpul, merundingkan apa-apa saja yang dapat dirampas dari Indonesia. Pemerintah Orde Baru pun dengan senang hati menjual negaranya untuk membangun surganya sendiri. Regulasi-regulasi yang mendukung pun diciptakan, melegalkan pemerkosaan terhadap alam. Alam semata-mata dipandang sebagai sumber daya, sebagai alat pemuas keserakahan manusia (Buhr & Reiter, 2006). Eksploitasi pun menjadi hal yang tak terhindarkan, sementara usaha konservasi seakan dilupakan.
Setidaknya, mungkin akan ada sedikit pemakluman terhadap eksploitasi yang begitu semena-mena bila pemanfaatannya sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: “dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”, namun pada kenyataanya tidaklah demikian. Sementara kekayaan alam makin menipis, keadaan rakyat tetap tak menjadi lebih baik, sebaliknya, rakyat justru semakin miskin. Kemana semua kekayaan ini pergi?
Rupa-rupanya, Indonesia memang belum merdeka. Hampir seluruh kekayaan kita, justru lari ke lain negara, sementara kita menjadi orang-orang yang mati kelaparan di lumbung padinya sendiri (Ekonomi Pancasila, 2004). Perusahaan-perusahaan asing semakin banyak masuk ke Indonesia, menjadikan sang tuan rumah sebagai babu-babu tak berdaya yang mau tak mau harus bersedia diupah rendah. Sementara liberalisme dan demokrasi yang diagungkan justru tak tampak wujudnya, otoritarianisme Orde Baru memaksa bersanding dengan kapitalisme. Sistem ekonomi Pancasila yang harusnya bersifat kerakyatan, justru digantikan oleh sistem ekonomi liberal kapitalistik yang tak bermoral (Ekonomi Pancasila, 2004). Pemerintah Orde Baru pun berusaha melakukan kamuflase terhadap sistem yang kejam ini, tetap melabelinya Pancasila, dan menciptakan penafsiran-penafsirannya sendiri untuk membenarkan segala kebijakannya (Bouchier, 2007).
Indonesia menjadi surga yang terlanjur salah kelola. Ketika krisis ekonomi terjadi pada tahun 1998, Indonesia menjadi negara yang paling parah terkena akibatnya. Banyak perusahaan tumbang, dan jutaan orang di-PHK. Yang cukup mengejutkan adalah, rakyat yang menjalankan usaha kecil menengah justru yang paling mampu bertahan. Krisis ekonomi tidak terlalu terasa dampaknya bagi mereka. (Ekonomi Pancasila, 2004) Mereka-mereka yang tinggal di desa dengan budaya kolektivis pun tidak terlalu terpengaruh, karena tidak semua kebutuhan sehari-hari perlu dibeli. Persaudaraan yang kuat memungkinkan mereka berbagi antartetangga. Perekonomian yang manusiawi, yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan diri sendiri, terbukti lebih kuat bertahan dan mampu membawa banyak kebaikan dibanding mimpi-mimpi modernisasi yang pada akhirnya justru menghancurkan.
Di sinilah kita dapat melihat bahwa justru sektor-sektor ekonomi kerakyatan ini yang sesungguhnya menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Ekonomi pasar yang dengan sendirinya berkembang di mana-mana telah memberi penghidupan bagi banyak orang, dan inilah yang sebenarnya menjadi ciri khas Indonesia, yang disebut sebagai ekonomi Pancasila. Tetapi sayangnya, pemerintah justru kurang mendukung sektor ini, malahan terkadang justru menghambatnya, seperti yang diceritakan oleh pedagang ikan di Muara Angke berikut, “Kalau ada gubernur atau menteri lewat, kami yang pedagang kaki lima ini diusir. Janji-janji keringanan pinjaman untuk pedagang kecil seperti kami juga nol besar semuanya.”. Ketika dana bantuan luar negeri diberikan untuk mengatasi krisis ekonomi, dana ini lagi-lagi dialokasikan ke sektor ekonomi makro, yang justru telah berandil besar dalam runtuhnya perekonomian Indonesia. (Ekonomi Pancasila, 2004)
Karenanya, menurut Profesor Mubyanto (Ekonomi Pancasila, 2004), perbaikan ekonomi Indonesia hanya mungkin dilakukan bila terdapat pemahaman terhadap ekonomi yang riil (real economics). Ekonomi pasar adalah ekonomi yang riil. Karenanya, demi kesejahteraan dan keadilan sosial yang sungguh merata, diperlukan pengkajian ulang terhadap sistem ekonomi yang tengah berjalan. Sebagai tulang punggung perekonomian yang sesungguhnya, sektor-sektor usaha kecil menengah ini perlu mendapat lebih banyak perhatian dan dukungan dari pemerintah. (Ekonomi Pancasila, 2004) Perwujudan ekonomi Pancasila yang sebenar-benarnya tentu akan membuat kita menjadi negara yang sungguh merdeka dan tak lagi didikte oleh pihak luar, membawa kita pada kemakmuran, membangun kembali tanah surga yang pernah jaya.
Referensi Film
Ekonomi Pancasila. (2004). Disutradarai oleh Kasan Kurdi, ditulis oleh DS Nugrahaeni. Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila Universitas Gajah Mada. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=uGXt78bmQaM[/