Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3
Aku bahagia, hidup sejahtera di khatulistiwa
Alam berseri-seri, bunga beraneka
Mahligai rama-rama
Bertajuk cahya jingga, surya di cakrawala...
https://www.youtube.com/watch?v=zdJ1s-DPiHI[/
Indonesia, sebuah negeri gemah ripah loh jinawi dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia. Negeri yang disebut-sebut sebagai zamrud khatulistiwa dengan keindahan tiada tara. Bagai perwujudan surga di dunia, hanya ada senyum tawa dari rakyatnya yang serba makmur dan sejahtera.
Melengkapi segala kehebatannya, Pancasila menjadi dasar negara. Sebagai ideologi yang sungguh berasal dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, begitu kokoh ia sebagai dasar dan landasan, sebagai sumber dari segala sumber hukum, sebagai pedoman dan acuan, menjadi tujuan (Bourchier, 2007). Ia diterapkan dalam segala aspek kehidupan: dalam percaturan dunia politik, hubungan sosial masyarakat, kebudayaan, juga perekonomian. Segalanya didasari oleh ketuhanan, kemanusiaan, moralitas, nasionalisme, demokrasi, dan keadilan.
Sempurnalah Indonesia, negeri yang cantik bagai dongeng, yang indah bagai mimpi.
Akan tetapi, rasa-rasanya ada yang janggal ketika menonton film “Ekonomi Pancasila”. Terasa aneh mendengar seorang pedagang ikan di Muara Angke Jakarta berkata, “Sekarang ekonomi nggak ada peningkatan, setiap tahun terasa menurun. Apalagi kemarin setelah laut kena cemaran, pada ambruk pedagang di sini. Pemerintah kayaknya nggak peduli sama orang kecil, yang ada cuma janji-janji aja. Ngomongnya ‘wong cilik’, ‘wong cilik’, mana buktinya?” Selain itu, keterangan dari ketua kelompok nelayan Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat pun tak kalah mengejutkan, “Indonesia ini, kalau dikatakan adil ya belum terasa adilnya. Kalau dikatakan sejahtera, juga belum terasa oleh masyarakat.”