Mohon tunggu...
Judith Brenda
Judith Brenda Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sebuah Bom Waktu, "The Tragedy of The Commons"

17 November 2017   15:03 Diperbarui: 17 November 2017   15:10 1881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pertumbuhan penduduk dunia yang semakin hari semakin pesat menyebabkan populasi dunia semakin membludak. Setiap manusia yang hidup di bumi ini pasti memiliki kebutuhan dan insting untuh memenuhi kebutuhan tersebut. Pada kenyataannya, semakin hari kebutuhan semakin bertambah berbanding terbalik dengan sumber daya alam yang tersedia. Kondisi ini menyebabkan degradasi sumber daya alam sebagaimana yang diungkapkan oleh Garrett Hardin. Pertumbuhan penduduk memiliki sifat yang alamiah dan akan terus menerus terjadi. Pertumbuhan penduduk ini dapat menyebabkan permasalahan sosial seperti keterbatasan lahan pangan.

Garret Hardin, seorang ahli biologi evolusioner menulis "The Tragedy of The Commons" yang diterbitkan dalam jurnal ilmu pengetahuan pada tahun 1968. Perhatian utama Hardin adalah pada overpopulation atau ledakan penduduk. Hardin menyatakan bahwa ledakan penduduk akan menyebabkan degradasi sumber daya alam karena keterbatasan sumber daya alam dan kebutuhan manusia yang tidak terbatas.

Tragedy of The Commons atau tragedi kepemilikan bersama merupakan kondisi atau keadaan buruk yang disebabkan oleh keserakahan manusia dalam usahanya untuk menguasai sesuatu. Tragedi kepemilikan bersama muncul ketika manusia berusaha untuk mengambil kekayaan alam yang merupakan milik bersama atau umum (lapangan rumput, hutan) untuk kepentingan pribadi tanpa memikirkan kepentingan makhluk hidup lain. Sikap manusia yang seperti ini lama kelamaan berdampak pada rusaknya keberlangsungan lingkungan. Maka dapat disimpulkan bahwa Tragedy of The Commons ini terjadi pada sumber daya yang merupakan milik umum atau milik bersama dan menyebabkan kerugian bagi makhluk hidup lain maupun lingkungan.

Analogi dari Tragedy of The Commons ini dapat digambarkan dalam sebuah ladang dan sapi. Sebuah ladang rumput pada awalnya dihuni dan dimakan rumputnya oleh 10 ekor sapi, namun seiring perkembangbiakkan sapi, ladang rumput akan dihuni dan dimakan rumputnya oleh 20 ekor sapi. Rumput yang awalnya hanya dimakan oleh 10 ekor sapi kini dimakan oleh 20 ekor sapi. Ladang rumput tidak bertambah luas namun yang menghuni ladang tersebut terus bertambah. Lama kelamaan ladang rumput akan kehabisan daya untuk 'mengumpan' sapi-sapi yang jumlahnya terus bertambah dan mengalami penurunan atau bahkan kerusakan. Gejala seperti ini sudah mulai terlihat jelas di dunia kita saat ini terutama di Indonesia.

Tragedy of The Commons banyak terjadi di negara-negara berkembang yang masih mengalami ledakan penduduk. Faktor yang turut mendukung ledakan penduduk ini adalah mindset masyarakat di negara berkembang yang masih sempit dan berorientasi pada kebudayaan. Contohnya di Indonesia ada sebuah semboyan yang sampai saat ini masih dijadikan pedoman atau prinsip hidup bagi banyak orang, yaitu "banyak anak banyak rezeki". Faktor pendidikan sangat mempengaruhi mindset masyarakat. Sementara di negara-negara maju seperti masyarakatnya sudah lebih terbuka terhadap perubahan dan mengutamakan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan dasarnya. Contohnya di China, ada kebijakan untuk setiap rumah tangga untuk memiliki satu anak saja untuk mengantisipasi terjadinya ledakan penduduk.

Kebijakan pemerintah seharusnya mampu menekan laju pertumbuhan penduduk. Permasalahannya adalah kebijakan yang dibuat sifatnya tidak wajib, seperti program Keluarga Berencana (KB) yang dicanangkan pemerintah di Indonesia. Program ini mengupayakan untuk setiap rumah tangga di Indonesia cukup memiliki 2 anak saja. Namun, pada kenyataannya, masyarakat Indonesia sendiri tidak terlalu menghiraukan program ini dengan berbagai macam alasan. Berkembang biak dan memiliki anak memang merupakan hak setiap individu, tetapi hak individu juga sebaiknya diimbangi dengan adanya hak-hak individu lain yang jangan sampai terhalangi hanya karena keegoisan individu lain.

Memaksakan sebuah kebijakan tentang peraturan jumlah anak yang diperbolehkan menjadi salah satu solusi yang ditawarkan oleh Hardin. Sebuah peraturan tentu dibarengi dengan sanksi apabila terjadi pelanggaran. Dalam kasus ini sebaiknya hal ini tetap diberlakukan. Bagaimanapun kita harus menyadari bahwa dunia ini memiliki keterbatasan dalam menyediakan sumber daya dan pada waktunya sumber daya ini akan tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan kita. Keegoisan dan keserakahan manusia atas sumber daya yang ada dapat dikatakan sebagai bom waktu yang dapat meledak kapan saja. 

Manusia seharusnya memiliki kesadaran bahwa kehidupan tidak berlangsung saat ini saja, masih ada hari esok, masih ada masa depan, dan masih ada keturunan kita yang seharusnya menikmati kondisi yang lebih baik daripada apa yang kita nikmati saat ini. Hal ini seharusnya menjadi salah satu agenda dalam pembangunan keberlanjutan di suatu negara, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun