Mohon tunggu...
Juditha Auliany
Juditha Auliany Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya adalah seorang mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa yang hobi traveling, saya memiliki tugas untuk membuat sebuah artikel

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jejak Luka di Tahah Bangsa: Tragedi Berdarah dalam G30S-PKI

14 Juli 2024   23:54 Diperbarui: 15 Juli 2024   21:16 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sepi malam saat sebagian besar Jakarta terlelap dalam kedamaian semu, sekelompok orang dengan agenda gelap mulai menyiapkan langkah mereka untuk sebuah kudeta militer yang ambisius. 30 September 1965 tanggal yang dalam catatan sejarah Indonesia tercatat dengan tinta merah darah dan kekacauan. Melalui serangan mendalam yang mengincar jenderal-jenderal utama militer, G30S/PKI berusaha menulis ulang masa depan negara. Namun, dari balik kekacauan ini muncul cerita keberanian, strategi, dan sebuah momen bersejarah yang membentuk Indonesia dalam tahun-tahun  berikutnya. Dalam artikel ini, kami akan mengungkap bagaimana strategi, keberuntungan, dan keputusan-keputusan kritis di tengah malam yang mencekam ini membentuk jalannya sejarah Indonesia yang baru.

Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) adalah peristiwa yang tidak hanya mengubah aturan politik Indonesia, tetapi juga menjadi pelajaran penting dalam sosiologi komunikasi. Peristiwa ini memperlihatkan bagaimana komunikasi massa  dapat digunakan secara efektif untuk membentuk opini publik. Setelah kejadian tersebut, pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto memanfaatkan media massa untuk menyebarkan narasi yang menggambarkan PKI sebagai ancaman besar terhadap negara. Kontrol terhadap media memungkinkan pemerintah untuk mengarahkan persepsi publik dan menciptakan konsensus nasional yang mendukung tindakan represif terhadap anggota dan simpatisan PKI.

Dalam konteks sosiologi komunikasi, penggunaan media sebagai alat propaganda oleh pemerintah Orde Baru menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat memanipulasi informasi untuk kepentingan politik. Media massa, termasuk surat kabar, radio, dan televisi, menjadi alat utama dalam menyebarkan versi resmi dari peristiwa G30S/PKI. Narasi yang dibangun pemerintah menekankan bahaya komunisme dan menjustifikasi tindakan militer terhadap mereka yang dianggap terlibat. Proses ini menunjukkan kekuatan komunikasi massa dalam membentuk realitas sosial dan mempengaruhi persepsi kolektif, di mana informasi yang disampaikan secara terus-menerus dan konsisten dapat membentuk pemahaman masyarakat terhadap suatu peristiwa.

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) adalah sebuah kudeta militer yang terjadi di Indonesia pada malam tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965. G30S/PKI adalah nama dari kelompok yang dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno dengan melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Para jenderal yang menjadi korban adalah Jenderal Ahmad Yani, Jenderal M.T. Haryono, Jenderal S. Parman, Jenderal D.I. Panjaitan, Jenderal R. Suprapto, dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.

Salah satu target utama yang di incar oleh PKI ini adalah Jenderal Abdul Haris Nasution, Panglima Angkatan Bersenjata.  Sekitar pukul 00.00 WIB, sekelompok anggota G30S/PKI yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung mengarahkan serangan mereka ke rumah Jenderal Nasution yang terletak di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Mereka memasuki rumah tersebut dengan tujuan menculik dan membunuh Jenderal Nasution sebagai bagian dari strategi kudeta mereka. Namun, pada saat serangan terjadi, Jenderal Nasution kebetulan tidak berada di kamar tidurnya.

Ketika Jenderal Nasution mendengar suara bising dan teriakan di luar kamar, ia dengan cepat menyadari bahwa rumahnya sedang diserang. Dengan cerdik, Nasution memutuskan untuk melarikan diri melalui pintu belakang dan melompati pagar ke halaman belakang rumahnya. Nasution kemudian bersembunyi di rumah tetangga yang kosong dan menghindari deteksi oleh pasukan G30S/PKI. Setelah berhasil melarikan diri, Jenderal Nasution bersembunyi di rumah tetangga sambil merencanakan langkah berikutnya. Dalam waktu singkat, ia menghubungi rekan-rekannya dan memberikan informasi penting mengenai situasi darurat yang sedang berlangsung. Informasi tersebut sangat berharga bagi Mayor Jenderal Suharto, yang kemudian memimpin operasi militer untuk menumpas kudeta.

Namun amat disayangkan saat serangan berlangsung, Ade Irma Suryani yang baru berusia tujuh tahun berada di rumah bersama keluarganya. Dalam kekacauan yang melanda rumah mereka, Ade Irma terkena tembakan yang mengakibatkan luka parah. Tragedi ini tidak hanya menjadi momen kelam dalam kehidupan keluarga Nasution, tetapi juga menjadi simbol dari kekejaman dan kekacauan yang dihadapi bangsa Indonesia pada malam itu.

Atas kejadian ini rumah dari Jendral Abdul Haris Nasution ini dijadikan sebagai museum yang terletak di pusat kota Jakarta, tepatnya di Jalan Teuku Umar No. 40. Museum A.H. Nasution tidak hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang-barang bersejarah, tetapi juga sebagai pusat pendidikan dan inspirasi. Dengan menyajikan koleksi yang meliputi dokumen-dokumen, foto, dan memori dari kehidupan Jenderal Nasution, museum ini mengajak pengunjung untuk mengenal lebih dalam tentang sosok yang memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia. Dari pameran tentang kepemimpinan militer hingga momen-momen dramatis dalam peristiwa G30S/PKI, museum ini menghidupkan kembali cerita-cerita heroik dan tantangan yang dihadapi oleh bangsa. Museum ini adalah tempat yang tepat bagi generasi muda untuk belajar mengenai nilai-nilai keberanian, pengabdian, dan integritas.

Dengan adanya kejadian G30S/PKI ini menunjukkan pentingnya literasi media dalam masyarakat. Kontrol ketat terhadap informasi dan penyebaran propaganda oleh pemerintah menggarisbawahi betapa pentingnya kemampuan individu untuk menganalisis dan mengevaluasi informasi secara kritis. Tanpa literasi media yang memadai, masyarakat rentan terhadap manipulasi dan misinformasi. Kejadian ini menjadi pelajaran penting dalam sosiologi komunikasi, bahwa kebebasan informasi dan akses terhadap berbagai sumber informasi adalah kunci untuk membangun masyarakat yang lebih kritis dan terinformasi. Literasi media tidak hanya membantu individu memahami konteks historis dan politis suatu peristiwa, tetapi juga memberdayakan mereka untuk menjadi bagian dari diskusi publik yang sehat dan demokratis.

NAMA: JUDITHA TARY AULIANY

NPM:23010400142

DOSEN PENGAMPU: ISTSISARI BULAN LAGENI, S.Sos, M.I.Kom

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun